Kamis, 10 Juni 2010

Anak Khusus

Jumat, 26 Februari 2010
KREATIVITAS PADA ANAK PENDERITA ADHD
KREATIVITAS PADA ANAK ADHD (Attention Defisit and Hyperactivity Disorder)
(Anak ADHD Yang Memiliki Kreativitas Dalam Bidang Musik)

Anak adalah titipan Tuhan Bagi setiap orang, makna memiliki seorang anak adalah hal yang tidak tergantikan dengan harta apapun di dunia ini. Setiap orangtua selalu berdoa dan berharap agar memiliki seorang anak yang sehat, baik secara fisik maupun sehat secara psikologis. Oleh karrena itu seorang ibu akan selalu menjaga si anak tersebut sejak ia masih berada dalam kandungan hingga ia lahir dan bahkan hingga ia memasuki masa-masa peralihan dari usia remaja ke masa dewasa (Hurlock, 1998).
Namun, tidak semua orangtua memiliki harapan yang sesuai dengan kenyataan yang ada. Bahkan ada beberapa orang tua yang harus ikhlas dan menerima seorang nak anak ketika anak tersebut tumbuh dalam kondisi dan skeadaan fisik ataupun kondisi psikologis yang tidak normal. Salah satunya adalah memiliki anak yang menderita gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (ADHD).
Hiperaktif adalah suatu kondisi dimana anak tidak bisa diam untuk beberapa waktu sekalipun atau mempunyai taraf aktivitas berlebihan. Anak hiperaktif adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktifitas (GPPH) atau attention definit and hyperactivity disorder (ADHD), kondisi ini disebut juga gangguan kinetik (dahulu minimal brain disfungsion syndrome).
Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (GPPH) atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) sebenarnya sudah dikenal lama oleh masyarakat, tetapi dengan istilah yang berbeda. Sejarah gangguan ADHD/GPPH telah mendapatkan berbagai label, mencerminkan berbagai pandangan tentang penyebab (etiologi) nya. Apabila melihat terminologinya, kita dapat mengelompokannya menjadi dua. Kelompok pertama, dengan istilah “Minimal Brain Damage” dan “Minimal Brain Dysfunction”; mencerminkan gagasan mengenai asumsi tentang penyebab (etiologi) gangguan, dan kedua, dengan terminologi seperti “Hyperkinetik Reactions of Childhood”.”Hyperkinetik Child Sydrome”, dan “Attention Deficit Hyperactivity Disorder”; menggambarkan tingkah laku yang dilihat dalam gangguan ini. (DeClerq dalam Mulyono , 2003).

Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperativitas (GPPH) atau Attension Definit Hyperactivity Disorder (ADHD), yang sering disebut hanya dengan hiperaktivitas (Hyperactivity), digunakan untuk menyatakan suatu pola perilaku pada seseorang yang menunjukan sikap tidak mau diam, tidak menaruh perhatian dan impulsif (semaunya sendiri). Anak-anak yang hiperaktif selalu bergerak. Mereka tidak mau diam, bahkan dalam berbagai situasi, misalnya ketika sedang mengikuti pelajaran dikelas yang menuntut agar mereka bersikap tenang. Mereka tidak pernah merasakan asyiknya permainan atau mainan pada umumnya disukai anak-anak seusia mereka, sebentar-sebentar mereka tergerak untuk beralih dari permainan atau mainan yang satu ke yang lain. Ini mengandung arti bahwa dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan mereka cenderung tidak memperoleh kepuasan sebanyak yang dikehendaki. (Taylor, 1998).
Hiperaktif pada anak merupakan gangguan tingkah laku, yaitu bereaksi lebih cepat terhadap suatu rangsangan dan timbul kelelahan akan lebih lambat dibandingkan dengan anak-anak yang normal (Osman, 2002).
Sebuah kondisi hiperkatif, tidak dapat diketahui secara langsung sejak individu lahir. Pada umumnya gejala-gejala hiperaktif (ADHD) baru muncul atau terlihat ketika ia memasuki usia 1 tahun. Dan perilaku hiperaktif yang munculpun belum dapat dikategorikan sebagai perilaku hiperaktif (ADHD), karena untuk memastikannya diperlukan pemeriksaan, observasi lebih lanjut lagi oleh seorang ahli (Psikolog Anak) (Siswadi, 2004).
Disnilah peran aktif orang tua untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai gejala-gejala atau semua hal yang berkaitan dengan hiperkatif ataupun gangguan pemusatan perhatian (ADHD). Sehingga anak yang memiliki gejala awal hiperaktif dapat diberikan penanganan lebih awal lagi oleh ahli yang terkait.
Simanjutak dan Pasaribu (1984) menjelaskan beberapa ciri umum seorang anak apat dikategorikan mengalami gangguan hiperaktivitas dan sikap kurang memperhatikan (Impulsiviness), antara lain : suka memainkan tangan atau kaki mengeliat-geliat ditempat duduk, meninggalkan tempat duduk dikelas atau meninggalkan meja makan atau kapan pun saat ia diharuskan duduk tenang, suka berjalan-jalan atau naik-naik dalam situasi diman perilaku itu tidak tepat, terus menerus “sibuk” atau perilaku seakan-akan “digerakan oleh tenaga motor”, bicara tanpa henti, menjawab pertanyan tanpa berfikir sebelum pertanyaan tersebut selesai, mengalami kesulitan untuk menunggu giliran dalam permainan atau kegiatan yang terstruktur lain, enggangu orang lain (mengganggu pembicaraan atau permainan).
Eisenberg (dalam simanjuntak & Pasaribu, 1984) mengemukakan beberapa ciri-ciri anak hiperaktif yang terbagi menjadi 2 yaitu :
a. Segi motorik
Anak tersebut selalu bergerak, tidak dapat duduk tenang dengan sesaat, anggota badannya selalu bergerak, meraba sesutu yang terlihat olehnya. Dalam kelompoknya anak hiperaktif selalu menarik perhatian karena menunjukan aktivitas yang berlebihan.
b. Segi sensori
Anak hiperaktif mempunyai perhatian yang kurang, dan mudah dialihkan. Anak hiperaktif seolah-olah tidak pernah menghiraukan isyarat dan teguran yang diberiakan padanya. Perhatiannya tearah dari satu objek keobjek yang lain yang disenanginya atau anak tersebut mempunyai short attention span (perhatian pada suatu objek/ objek hanya berlangsung untuk waktu yang singkat).

Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung secara konstan dan bersifat konsisten, sehingga hal ini benar-benar dapat mengganggu kehidupan keseharian anak tersebut. Dampak yang diakibakan dari gangguan ini antar lain : anak menjadi terhambat dalam proses berpir dan proses belajar, karena ia memiliki gangguan pemusatan perhatian, yang membuat ia tidak fokus pada pelajaran apapun yang diberikan oleh orang tuanya ataupun oleh gurunya (Osman, 2002).
Andres (dalam Rahmat, 2003) menjelaskan bahwa banyak faktor yang dicurigai sebagai faktor resiko timbulnya gangguan tingkah laku pada anak-anak penderita ADHD. Faktor-faktor resiko tersebut dapat dikelompokan sebagai berikut (): Faktor Resiko biologis, yang terdiri dari adanya kehamilan yang terganggu, prematuritas, berat badan lahir rendah, trauma persalinan, asfiksia, serta pola penyakit keluarga. Faktor resiko psikososial, mencakup antara lain : keintiman keluarga termasuk ekspresi emosi, status anak dalam kelurga, serta kepadatan hunian atau banyaknya jumlah anggota keluarga.
Berdasarkan penyebabnya, hiperaktif dibedakan dalan dua kelompok, yaitu faktor psikis dan fisik. Dari pemeriksaan fisik (neurolog), umumnya ditemukan bahwa, pada anak penderita hiperaktif tampak terjadi abnormalitas aktivitas otak. Data lain, seperti pematangan awal kelenjar-kelenjar tubuh, serta kerusakan atau terjadinya gangguan sistem saraf. Dari sisi psikologisnya, terjadinya tingkah laku hiperaktif lebih dipengaruhi oleh kurangnya perhatian atau cinta kasih orang tua. Akibatnya, jiwa anak mengalami kekosongan belaian kasih, sebagai kompensasi atas kondisi tersebut anak mencoba mencari pemuasan diri melalui objek lain atau tindakan untuk menggantikannya. (Robinson dalam Rahmat, 2003).
Suryana (2004), berpendapat bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi hiperaktif antara lain adalah :
a. Permisif (pemanjaan)
Pemanjaan dapat juga disamakan dengan memperlakukan anak secara manis, membujuk-bujuk makan, membiarkan saja, memenuhi keinginan dan kebutuhanya, dan sebagainya. Biasanya anak yang dimanja diberikan pengarahan yang kurang dan sulit bergaul dengan teman sebayanya karena ingin menang sendiri,tidak punya tanggung jawab, berbuat sesuka hatinya , serta sering membantah.
b. Kurang disiplin dan pengawasan
Anak yang kurang disiplin atau pengawasan ini akan berbuat sesuka hati, sebab perilakunya kurang dibatasi. Dan apa yang dilakukan oleh anak tersebut dibiarkan begitu saja tanpa ada perhatian dari orang tua.
c. Orientasi kesenangan
Anak yang memiliki kepribadian yang berorientasi pada kesenangan umumnya memiliki ciri-ciri hiperaktif secar sosio-psikologis dan harus dididik agak berbeda sehingga mau untuk mendengarkan dan menyesuaikan diri, serta ingin memuaskan kebutuhan kebutuhan atau keinginanya sendiri.

Berdasarkan penyebabnya, hiperaktif dibedakan dalan dua kelompok, yaitu faktor psikis dan fisik. Dari pemeriksaan fisik (neurolog), umumnya ditemukan bahwa, pada anak penderita hiperaktif tampak terjadi abnormalitas aktivitas otak. Data lain, seperti pematangan awal kelenjar-kelenjar tubuh, serta kerusakan atau terjadinya gangguan sistem saraf. Dari sisi psikologisnya, terjadinya tingkah laku hiperaktif lebih dipengaruhi oleh kurangnya perhatian atau cinta kasih orang tua. Akibatnya, jiwa anak mengalami kekosongan belaian kasih, sebagai kompensasi atas kondisi tersebut anak mencoba mencari pemuasan diri melalui objek lain atau tindakan untuk menggantikannya. (Robinson dalam Rahmat, 2003).
Terlepas dari segala kekurangan yang dimiliki oleh anak yang menderita gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (ADHD), ternyata juga terdapat hal-hal positif yang dapat kita temukan pada anak-anak penderita Hiperaktif tersebut. Ada beberapa anak-anak penderita ADHD, ternyata memiliki bakat dan kemampuan khusus dalam suatu bidang tertentu. Misalnya, bermusik, olah raga dan sebagainya. Dalam penelitian ini peneliti lebih memfokuskan pada bakat dan kreativitas dalam hal bermusik.
Ada beberapa anak penderita ADHD yang terdapat di beberapa klinik dan sekolah khusus, memiliki bakat-bakat tertentu dalam berbagai bidang tertentu. Sekolah ini dibangun khusus untuk mengasah dan mengembangkan bakat-bakat tersembunyi yang dimiliki oleh anak yang menderita ADHD tersebut. Dengan harapan kreativitas dan kemampuan tersebut dapat meminimalisir perilaku hiperaktif yang sering muncul pada anak tersebut (Simanjutak dan Pasaribu, 1984).
Menurut Haris & Liebert (1987), seorang anak penderita ADHD biasanya memiliki minat pada satu aktivitas tertentu. Aktivitas tersebut nerupakan aktivitas yang paling sering ia lakukan dan paling sering kita lihat. Contohnya, anak tersebut sering terlihat memainkan bola tanpa lelah dan kenal waktu, anak tersebut sering juga terlihat memainkan alat musik tertentu (seruling, drum), dan sebagainya. Hal tersebut membuktikan bahwa, mereka juga memiliki minat dan bakat-bakat tertentu yang terpendam.
Lebih lanjut lagi Haris & Liebert (1987) menjelaskan bahwa, orang tua dan kalangan pendidik harus cermat dan lebih teliti lagi untuk mengenali minat dan bakat-bakat terpendam tersebut. Yang nantinya orang tua/pendidik bertindak sebagai pembimbing, mengarahkan serta memberikan fasilitas untuk menunjang dan mengasah minat dan bakat terpendam tersebut, yang tentu saja dibantu oleh seorang ahli (psikolog anak/dokter anak).
Osman (2002), menemukan bahwa penanganan yang tepat terhadap anak penderita ADHD, akan mampu meminimalisir dan mengurangi perilaku hiperaktif yang ada pada anak tersebut. Karena secara langsung mereka diarahkan untuk bisa fokus pada satu atau beberapa bidang tertentu dan aktivitas tertentu.
Osman (2002) juga menemukan bahwa anak-anak penderita ADHD yang memiliki bakat-bakat khusus, ternyata berprestasi dalam bidang yang digelutinya. Hal ini disebabkan karena mereka memang terfokus untuk melatih dan mengembangkan bakat dan keahlian tersebut. Sehingga tidak heran jika anak tersebut menjadi anak yang mahir dan bahkan memiliki bakat yang melebihi anak normal pada umumnya.

Jumat, 09 April 2010
MACAM-MACAM GANGGUAN PERVASIVE PADA ANAK
Gangguan Perkembangan Pervasif (Pervasive Developmental Disorders /PDD)
Terdiri dari beberapa jenis PPD di antaranya adalah :
1. Autism
2. Aspergers
3. Retts
4. Childhood Disintegrative Disorder (CDD)
5. Gangguan pervasive opada masa kanak-kanak (Pervasive Developmental Disorder) or Not Otherwise Specified (PDD:NOS)
Beberapa perbedaan antara Autis, Aspergers, Retts, Gangguan disintegratif padamasa kanak (Childhood Disintegrative Disorder /CDD), Pervasive Developmental Disorder or Not Otherwise Specified (PDD:NOS adalah :
AUTISM
• Ketidakmampuan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi.
• Sampai dengan umur 3 tahun mempunyai daya imajinasi yang tinggi dalam bermain dan mempunyai perilaku, minat dan aktifitas yang unik (aneh).
• Dikategorikan sebagai ketidak mampuan dalam bersosialisasi dan mempunyai minat dan aktifitas yang terbatas tanpa adanya keterlambatan dalam kemampuan berbicara. Kecerdasannya berada pada tingkat normal atau diatas normal.
• Terdapat 6 GEJALA UTAMA AUTISM1. Kegagalan untuk mengembangkan khidupan sosial normal2. Gangguan bicara, Bahasa dan komunikasi3. Abnormal Relationships to Objects and Events4. Respon tidak normal terhadap stimulasi sensoris5. Perbedaan perkembangan dan keterlambatan perkembangan6. Dimulai selama usia bayi atau anak
SINDROM RETT’S
• Sindrom Rett adalah penyakit degeneratif, ketidakmampuan yang semakin hari semakin parah (progresif).
• Hanya menimpa anak perempuan. Pertumbuhan normal lalu diikuti dengan kehilangan keahlian yang sebelumnya telah dikuasai dengan baik- khususnya kehilangan kemampuan menggunakan tangan yang kemudian berganti menjadi pergerakan tangan yang berulang ulang (seperti mencuci tangan) mulai pada umur 1 hingga 4 tahun.
• Gejala dapat dimulai usia 6 bulan hingga usia 18 bulan
• Pertumbuhan kepala lambat
• Kehilangan kemampuan menggunakan gerakan tangan
• Berkembang seperti gejala khas autism
GANGGUAN DISINTEGRATIF PADA KANAK-KANAK (Childhood Disintegrative Disorder /CDD)
• Pertumbuhan yang normal pada usia 1 sampai 2 tahun kemudian kehilangan kemampuan yang sebelumnya telah dikuasai dengan baik.
• Anak berkembang normal dalam usia 2 tahun pertama(seperti : kemampuan kominukasi, sosial, bermain dan perilaku), namun secara bermakna kemampuan itu terganggu sebelum usia 10 tahun, yang tergangggu diantaranya adalah kemampuan :BahasaKemampuan sosialKemampuan buang air besar dan buang air kecil di toiletBermainKemampuan motorik
• Gejala tambahan, menunjukkan fungus abnormal sedikitnya dua hal dari :Interaksi sosial
• Komunikasi Pola perilaku terbatas : perhatian dan aktifitas
SINDROM ASPERGER’S
• Asperger’s Syndrome gejala khas yang timbul adalah gangguan intteraksi sosial ditambah gejala keterbatasan dan pengulangan perilaku, ketertarikan dan aktifitasis.
• Mempunyai gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, sedikitnya dua gejala dari itandai dengan gangguan penggunaan beberapa komunikasi non verbal (mata, pandangan, ekspresi wajah, sikap bada, gerak isyarat)
• Tidak bisa bermain dengan anak sebayaGangguan dalam menikmati minat atau keberhasilankurangnya hubungan sosial dan emosional
GANGGUAN PERKEMBANGAN PERVASIF (Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified / PDD-NOS)
• Biasa disebut Autis yang tidak umum dimana diagnosis PDD-NOS dapat dilakukan jika anak tidak memenuhi kriteria diagnosis yang ada (DSM-IV) akan tetapi terdapat ketidakmampuan pada beberapa perilakunya.




GANGGUAN PERVASIVE PADA ANAK
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
• interaksi sosial,
• komunikasi (bahasa dan bicara),
• perilaku-emosi,
• pola bermain,
• gangguan sensorik dan motorik
• perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.

Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV
A. Interaksi Sosial (minimal 2):
1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Perpasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
• Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
• The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
• The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
• The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.
Gejala
Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak ‘berbicara’ sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.

Prevalensi Individu dengan autisme
Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:
• Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
• Chromosome 7 – speech / language chromosome
• Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?


Implikasi Diagnosa Autisme
Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.
Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.


Perkembangan Penelitian Autisme
Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
• Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
• Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
• Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
• Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:
• 1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
• 1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
• 1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
• 1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
• 2000s Litigation, school-based services

Penanganan Autisme di Indonesia
Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:
1. viking & bonek layak masuk ke terapi autis.
1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.


Terapi Bagi Individu dengan Autisme
Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
• Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
• Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
• TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
• Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
• Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
• Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
• Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
• Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

KREATIVITAS PADA ANAK AUTISME dan ADHD (Attention Defisit and Hyperactivity Disorder)
(Anak ADHD Yang Memiliki Kreativitas
Dalam Bidang Musik)

Anak adalah titipan Tuhan Bagi setiap orang, makna memiliki seorang anak adalah hal yang tidak tergantikan dengan harta apapun di dunia ini. Setiap orangtua selalu berdoa dan berharap agar memiliki seorang anak yang sehat, baik secara fisik maupun sehat secara psikologis. Oleh karrena itu seorang ibu akan selalu menjaga si anak tersebut sejak ia masih berada dalam kandungan hingga ia lahir dan bahkan hingga ia memasuki masa-masa peralihan dari usia remaja ke masa dewasa (Hurlock, 1998).
Namun, tidak semua orangtua memiliki harapan yang sesuai dengan kenyataan yang ada. Bahkan ada beberapa orang tua yang harus ikhlas dan menerima seorang nak anak ketika anak tersebut tumbuh dalam kondisi dan skeadaan fisik ataupun kondisi psikologis yang tidak normal. Salah satunya adalah memiliki anak yang menderita gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (ADHD).
Hiperaktif adalah suatu kondisi dimana anak tidak bisa diam untuk beberapa waktu sekalipun atau mempunyai taraf aktivitas berlebihan. Anak hiperaktif adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktifitas (GPPH) atau attention definit and hyperactivity disorder (ADHD), kondisi ini disebut juga gangguan kinetik (dahulu minimal brain disfungsion syndrome).
Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (GPPH) atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) sebenarnya sudah dikenal lama oleh masyarakat, tetapi dengan istilah yang berbeda. Sejarah gangguan ADHD/GPPH telah mendapatkan berbagai label, mencerminkan berbagai pandangan tentang penyebab (etiologi) nya. Apabila melihat terminologinya, kita dapat mengelompokannya menjadi dua. Kelompok pertama, dengan istilah “Minimal Brain Damage” dan “Minimal Brain Dysfunction”; mencerminkan gagasan mengenai asumsi tentang penyebab (etiologi) gangguan, dan kedua, dengan terminologi seperti “Hyperkinetik Reactions of Childhood”.”Hyperkinetik Child Sydrome”, dan “Attention Deficit Hyperactivity Disorder”; menggambarkan tingkah laku yang dilihat dalam gangguan ini. (DeClerq dalam Mulyono , 2003).
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperativitas (GPPH) atau Attension Definit Hyperactivity Disorder (ADHD), yang sering disebut hanya dengan hiperaktivitas (Hyperactivity), digunakan untuk menyatakan suatu pola perilaku pada seseorang yang menunjukan sikap tidak mau diam, tidak menaruh perhatian dan impulsif (semaunya sendiri). Anak-anak yang hiperaktif selalu bergerak. Mereka tidak mau diam, bahkan dalam berbagai situasi, misalnya ketika sedang mengikuti pelajaran dikelas yang menuntut agar mereka bersikap tenang. Mereka tidak pernah merasakan asyiknya permainan atau mainan pada umumnya disukai anak-anak seusia mereka, sebentar-sebentar mereka tergerak untuk beralih dari permainan atau mainan yang satu ke yang lain. Ini mengandung arti bahwa dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan mereka cenderung tidak memperoleh kepuasan sebanyak yang dikehendaki. (Taylor, 1998).
Hiperaktif pada anak merupakan gangguan tingkah laku, yaitu bereaksi lebih cepat terhadap suatu rangsangan dan timbul kelelahan akan lebih lambat dibandingkan dengan anak-anak yang normal (Osman, 2002).
Sebuah kondisi hiperkatif, tidak dapat diketahui secara langsung sejak individu lahir. Pada umumnya gejala-gejala hiperaktif (ADHD) baru muncul atau terlihat ketika ia memasuki usia 1 tahun. Dan perilaku hiperaktif yang munculpun belum dapat dikategorikan sebagai perilaku hiperaktif (ADHD), karena untuk memastikannya diperlukan pemeriksaan, observasi lebih lanjut lagi oleh seorang ahli (Psikolog Anak) (Siswadi, 2004).
Disnilah peran aktif orang tua untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai gejala-gejala atau semua hal yang berkaitan dengan hiperkatif ataupun gangguan pemusatan perhatian (ADHD). Sehingga anak yang memiliki gejala awal hiperaktif dapat diberikan penanganan lebih awal lagi oleh ahli yang terkait.
Simanjutak dan Pasaribu (1984) menjelaskan beberapa ciri umum seorang anak apat dikategorikan mengalami gangguan hiperaktivitas dan sikap kurang memperhatikan (Impulsiviness), antara lain : suka memainkan tangan atau kaki mengeliat-geliat ditempat duduk, meninggalkan tempat duduk dikelas atau meninggalkan meja makan atau kapan pun saat ia diharuskan duduk tenang, suka berjalan-jalan atau naik-naik dalam situasi diman perilaku itu tidak tepat, terus menerus “sibuk” atau perilaku seakan-akan “digerakan oleh tenaga motor”, bicara tanpa henti, menjawab pertanyan tanpa berfikir sebelum pertanyaan tersebut selesai, mengalami kesulitan untuk menunggu giliran dalam permainan atau kegiatan yang terstruktur lain, enggangu orang lain (mengganggu pembicaraan atau permainan).
Eisenberg (dalam simanjuntak & Pasaribu, 1984) mengemukakan beberapa ciri-ciri anak hiperaktif yang terbagi menjadi 2 yaitu :
a. Segi motorik
Anak tersebut selalu bergerak, tidak dapat duduk tenang dengan sesaat, anggota badannya selalu bergerak, meraba sesutu yang terlihat olehnya. Dalam kelompoknya anak hiperaktif selalu menarik perhatian karena menunjukan aktivitas yang berlebihan.
b. Segi sensori
Anak hiperaktif mempunyai perhatian yang kurang, dan mudah dialihkan. Anak hiperaktif seolah-olah tidak pernah menghiraukan isyarat dan teguran yang diberiakan padanya. Perhatiannya tearah dari satu objek keobjek yang lain yang disenanginya atau anak tersebut mempunyai short attention span (perhatian pada suatu objek/ objek hanya berlangsung untuk waktu yang singkat).
Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung secara konstan dan bersifat konsisten, sehingga hal ini benar-benar dapat mengganggu kehidupan keseharian anak tersebut. Dampak yang diakibakan dari gangguan ini antar lain : anak menjadi terhambat dalam proses berpir dan proses belajar, karena ia memiliki gangguan pemusatan perhatian, yang membuat ia tidak fokus pada pelajaran apapun yang diberikan oleh orang tuanya ataupun oleh gurunya (Osman, 2002).
Andres (dalam Rahmat, 2003) menjelaskan bahwa banyak faktor yang dicurigai sebagai faktor resiko timbulnya gangguan tingkah laku pada anak-anak penderita ADHD. Faktor-faktor resiko tersebut dapat dikelompokan sebagai berikut (): Faktor Resiko biologis, yang terdiri dari adanya kehamilan yang terganggu, prematuritas, berat badan lahir rendah, trauma persalinan, asfiksia, serta pola penyakit keluarga. Faktor resiko psikososial, mencakup antara lain : keintiman keluarga termasuk ekspresi emosi, status anak dalam kelurga, serta kepadatan hunian atau banyaknya jumlah anggota keluarga.
Berdasarkan penyebabnya, hiperaktif dibedakan dalan dua kelompok, yaitu faktor psikis dan fisik. Dari pemeriksaan fisik (neurolog), umumnya ditemukan bahwa, pada anak penderita hiperaktif tampak terjadi abnormalitas aktivitas otak. Data lain, seperti pematangan awal kelenjar-kelenjar tubuh, serta kerusakan atau terjadinya gangguan sistem saraf. Dari sisi psikologisnya, terjadinya tingkah laku hiperaktif lebih dipengaruhi oleh kurangnya perhatian atau cinta kasih orang tua. Akibatnya, jiwa anak mengalami kekosongan belaian kasih, sebagai kompensasi atas kondisi tersebut anak mencoba mencari pemuasan diri melalui objek lain atau tindakan untuk menggantikannya. (Robinson dalam Rahmat, 2003).
Suryana (2004), berpendapat bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi hiperaktif antara lain adalah :
a. Permisif (pemanjaan)
Pemanjaan dapat juga disamakan dengan memperlakukan anak secara manis, membujuk-bujuk makan, membiarkan saja, memenuhi keinginan dan kebutuhanya, dan sebagainya. Biasanya anak yang dimanja diberikan pengarahan yang kurang dan sulit bergaul dengan teman sebayanya karena ingin menang sendiri,tidak punya tanggung jawab, berbuat sesuka hatinya , serta sering membantah.
b. Kurang disiplin dan pengawasan
Anak yang kurang disiplin atau pengawasan ini akan berbuat sesuka hati, sebab perilakunya kurang dibatasi. Dan apa yang dilakukan oleh anak tersebut dibiarkan begitu saja tanpa ada perhatian dari orang tua.
c. Orientasi kesenangan
Anak yang memiliki kepribadian yang berorientasi pada kesenangan umumnya memiliki ciri-ciri hiperaktif secar sosio-psikologis dan harus dididik agak berbeda sehingga mau untuk mendengarkan dan menyesuaikan diri, serta ingin memuaskan kebutuhan kebutuhan atau keinginanya sendiri.
Berdasarkan penyebabnya, hiperaktif dibedakan dalan dua kelompok, yaitu faktor psikis dan fisik. Dari pemeriksaan fisik (neurolog), umumnya ditemukan bahwa, pada anak penderita hiperaktif tampak terjadi abnormalitas aktivitas otak. Data lain, seperti pematangan awal kelenjar-kelenjar tubuh, serta kerusakan atau terjadinya gangguan sistem saraf. Dari sisi psikologisnya, terjadinya tingkah laku hiperaktif lebih dipengaruhi oleh kurangnya perhatian atau cinta kasih orang tua. Akibatnya, jiwa anak mengalami kekosongan belaian kasih, sebagai kompensasi atas kondisi tersebut anak mencoba mencari pemuasan diri melalui objek lain atau tindakan untuk menggantikannya. (Robinson dalam Rahmat, 2003).
Terlepas dari segala kekurangan yang dimiliki oleh anak yang menderita gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (ADHD), ternyata juga terdapat hal-hal positif yang dapat kita temukan pada anak-anak penderita Hiperaktif tersebut. Ada beberapa anak-anak penderita ADHD, ternyata memiliki bakat dan kemampuan khusus dalam suatu bidang tertentu. Misalnya, bermusik, olah raga dan sebagainya. Dalam penelitian ini peneliti lebih memfokuskan pada bakat dan kreativitas dalam hal bermusik.
Ada beberapa anak penderita ADHD yang terdapat di beberapa klinik dan sekolah khusus, memiliki bakat-bakat tertentu dalam berbagai bidang tertentu. Sekolah ini dibangun khusus untuk mengasah dan mengembangkan bakat-bakat tersembunyi yang dimiliki oleh anak yang menderita ADHD tersebut. Dengan harapan kreativitas dan kemampuan tersebut dapat meminimalisir perilaku hiperaktif yang sering muncul pada anak tersebut (Simanjutak dan Pasaribu, 1984).
Menurut Haris & Liebert (1987), seorang anak penderita ADHD biasanya memiliki minat pada satu aktivitas tertentu. Aktivitas tersebut nerupakan aktivitas yang paling sering ia lakukan dan paling sering kita lihat. Contohnya, anak tersebut sering terlihat memainkan bola tanpa lelah dan kenal waktu, anak tersebut sering juga terlihat memainkan alat musik tertentu (seruling, drum), dan sebagainya. Hal tersebut membuktikan bahwa, mereka juga memiliki minat dan bakat-bakat tertentu yang terpendam.
Lebih lanjut lagi Haris & Liebert (1987) menjelaskan bahwa, orang tua dan kalangan pendidik harus cermat dan lebih teliti lagi untuk mengenali minat dan bakat-bakat terpendam tersebut. Yang nantinya orang tua/pendidik bertindak sebagai pembimbing, mengarahkan serta memberikan fasilitas untuk menunjang dan mengasah minat dan bakat terpendam tersebut, yang tentu saja dibantu oleh seorang ahli (psikolog anak/dokter anak).
Osman (2002), menemukan bahwa penanganan yang tepat terhadap anak penderita ADHD, akan mampu meminimalisir dan mengurangi perilaku hiperaktif yang ada pada anak tersebut. Karena secara langsung mereka diarahkan untuk bisa fokus pada satu atau beberapa bidang tertentu dan aktivitas tertentu.
Osman (2002) juga menemukan bahwa anak-anak penderita ADHD yang memiliki bakat-bakat khusus, ternyata berprestasi dalam bidang yang digelutinya. Hal ini disebabkan karena mereka memang terfokus untuk melatih dan mengembangkan bakat dan keahlian tersebut. Sehingga tidak heran jika anak tersebut menjadi anak yang mahir dan bahkan memiliki bakat yang melebihi anak normal pada umumnya.

Definisi Childhood Disintegrative Disorder....
Disintegratif masa kanak-kanak disorder (CDD), juga dikenal sebagai sindrom Heller dan disintegratif psikosis, adalah suatu kondisi yang ditandai oleh langka akhir awal (> 3 tahun) keterlambatan perkembangan bahasa, fungsi sosial, dan keterampilan motorik. ..Para.. peneliti belum berhasil menemukan penyebab gangguan ini.
CDD memiliki beberapa kesamaan dengan autism, dan kadang-kadang dianggap sebagai bentuk fungsi rendah itu, tapi yang jelas cukup periode perkembangan normal sering dicatat sebelum regresi keterampilan atau serangkaian regresi keterampilan. Banyak anak yang sudah agak tertunda ketika penyakit menjadi jelas, tetapi penundaan ini tidak selalu jelas pada anak-anak. Usia di mana regresi ini dapat terjadi bervariasi, dan dapat dari usia 2-10 dengan definisi ini sebagian besar tergantung pada pendapat masing-masing.
Regresi dapat sangat mendadak, dan anak bahkan mungkin anak shock dengan apa yang terjadi, dan banyak orang tua terkejut. Beberapa anak menunjukan reaksi terhadap halusinasi, tetapi gejala yang paling jelas adalah bahwa anak tersebut kehilangan keterampilannaya. Hal ini telah di paparkan oleh banyak penulis sebagai suatu kondisi yang menghancurkan, mempengaruhi berbagai pihak baik keluarga dan masa depan individu anak tersebut. Seperti halnya dengan semua kategori gangguan perkembangan, terdapat banyak kontroversi tentang perawatan yang tepat untuk CDD. ....
1. Sejarah Childhood Disintegrative Disorder (CDD)....
Sindrom ini awalnya digambarkan oleh Theodore pendidik Austria Heller pada tahun 1908, 35 tahun sebelum Leo Kanner menjelaskan autisme, tapi belum secara resmi diakui sampai saat ini. Heller menggunakan nama demensia infantilis untuk sindrom.. Ini adalah kelainan kompleks yang mempengaruhi banyak wilayah yang berbeda dari perkembangan anak. Hal ini dikelompokkan dengan gangguan perkembangan meluas (PDDs) dan terkait dengan lebih baik dan lebih umum dikenal gangguan autism.....
CDD awalnya dianggap sebagai kelainan medis dan dipercaya sudah diidentifikasi penyebabnya adalah karena kerusakan organisme. Setelah peneliti memeriksa kasus yang dilaporkan CDD, ternyata tidak ada gangguan neurologis spesifik ditemukan sebagai penyebab CDD, untuk membuktikan terjadinya kelainan CDD. Untuk alasan itu, CDD dimasukkan dalam edisi keempat Diagnostik dan Statistik Manual. The Diagnostik dan Statistik Manual adalah karya referensi standar berkonsultasi dengan profesional kesehatan mental di Amerika Serikat dan Kanada.
2. Diagnosa Banding....
Gangguan Perkembangan Pervasif (Pervasive Developmental Disorders /PDD) terdiri dari beberapa jenis, di antaranya adalah:....
1. Autistic.....
2. Aspergers. ....
3. Retts.....
4. Childhood Disintegrative Disorder (CDD).....
5. Gangguan pervasive opada masa kanak-kanak (Pervasive Developmental Disorderor – Not Otherwise Specified /PDD-NOS).....
6. Multisystem Developmental Disorders (MSDD)....
Beberapa perbedaan antara Autis, Aspergers, Retts, Gangguan disintegratif padamasa kanak (Childhood Disintegrative Disorder/CDD), Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) dan Multisystem Developmental Disorders (MSDD) adalah:....
1. Autisme....
Ketidakmampuan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi. Sampai dengan umur 3 tahun mempunyai daya imajinasi yang tinggi dalam bermain dan mempunyai perilaku, minat dan aktifitas yang unik (aneh). Dikategorikan sebagai ketidakmampuan dalam bersosialisasi dan mempunyai minat dan aktifitas yang terbatas tanpa adanya keterlambatan dalam kemampuan berbicara. Kecerdasannya berada pada tingkat normal atau diatas normal. Terdapat 6 gejala utama autisme, antara lain:....
1. Kegagalan untuk mengembangkan kehidupan sosial normal.....
2. Gangguan bicara, bahasa dan komunikasi.....
3. Abnormal Relationships to Objects and Events.....
4. Respon tidak normal terhadap stimulasi sensoris.....
5. Perbedaan perkembangan dan keterlambatan perkembangan dimulai dari usia bayi atau anak.....
2. Sindrom Rett's....
Sindrom Rett’s adalah penyakit degeneratif, ketidakmampuan yang semakin hari semakin parah (progresif). Hanya menimpa anak perempuan. Pertumbuhan normal lalu diikuti dengan kehilangan keahlian yang sebelumnya telah dikuasai dengan baik, khususnya kehilangan kemampuan menggunakan tangan yang kemudian berganti menjadi pergerakan tangan yang berulang ulang (seperti mencuci tangan) mulai pada umur 1 hingga 4 tahun. Gejala dapat dimulai usia 6 bulan hingga usia 18 bulan, antara lain:....
1. Pertumbuhan kepala lambat.....
2. Kehilangan kemampuan menggunakan gerakan tangan.....
3. Berkembang seperti gejala khas autisme.....
3. Gangguan Disintegratif Pada Kanak-Kanak (Childhood Disintegrative Disorder /CDD)....
Pertumbuhan yang normal pada usia 1 sampai 2 tahun kemudian kehilangan kemampuan yang sebelumnya telah dikuasai dengan baik. Anak berkembang normal dalam usia 2 tahun pertama (seperti: kemampuan komunikasi, sosial, bermain dan perilaku), namun secara bermakna kemampuan itu terganggu. Sebelum usia 10 tahun, yang tergangggu diantaranya adalah kemampuan:....
•Bahasa.....
•Kemampuan sosial. ....
•Kemampuan buang air besar dan buang air kecil di toilet.....
•Bermain.....
• Kemampuan motorik. ....
Gejala tambahan, menunjukkan fungsi abnormal sedikitnya dua hal dari : ....
•Interaksi social.....
•Komunikasi. ....
•Pola perilaku terbatas, yaitu perhatian dan aktifitas.....
4. Sindrom Asperger's....
Asperger's Syndrome gejala khas yang timbul adalah gangguan interaksi sosial ditambah gejala keterbatasan dan pengulangan perilaku, ketertarikan dan aktifitasis. Mempunyai gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, sedikitnya dua gejala dari: ....
•Ditandai dengan gangguan penggunaan beberapa komunikasi non verbal (mata, pandangan, ekspresi wajah, sikap badan dan gerak isyarat).....
• Tidak bisa bermain dengan anak sebaya.....
•Gangguan dalam menikmati minat atau keberhasilan.....
• Kurangnya hubungan sosial dan emosional.....
5. Gangguan Perkembangan Pervasif (Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified / PDD-NOS)....
Biasa disebut Autisme yang tidak umum dimana diagnosis PDD-NOS dapat dilakukan jika anak tidak memenuhi kriteria diagnosis yang ada (DSM-IV) akan tetapi terdapat ketidakmampuan pada beberapa perilakunya.....
6. Multisystem Developmental Disorders (MSDD)....
MSDD adalah diagnosis gangguan perkembangan dalam hal kesanggupannya berhubungan, berkomunikasi, bermain dan belajar. Gangguan MSDD tidak menetap seperti gangguan pada Autistic Spectrum Disorders tetapi sangat mungkin untuk terjadi perubahan dan perbaikan. Pengertian MSDD meliputi gangguan sensoris multipel dan interaksi sensorik motorik. Gejala MSDD meliputi:
1. Gangguan dalam berhubungan sosial dan emosional dengan orang tua atau pengasuh.
2. Gangguan dalam mempertahankan dan mengembangkan komunikasi
3. Gangguan dalam proses auditori....
4. Gangguan dalam proses berbagai sensorik lain atau koordinasi motorik....


By : Sarah Marlina
Diposkan oleh DR. FREUD di 22:14 0 komentar
GANGGUAN BELAJAR : DISLEKSIA
DISLEKSIA : ISU-ISU & IMPLIKASINYA BAGI BIMBINGAN DAN KONSELING
Pengertian Disleksia
Kata disleksia diambil dari bahasa Yunani, dys yang berarti “sulit dalam …” dan lex (berasal dari legein, yang artinya berbicara). Jadi disleksia merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada anak tersebut dalam melakukan aktifitas membaca dan menulis. Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti karena ada masalah dengan penglihatan, tapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu (Ira Meida, 2007). Sumber: www.halalguide.info/content/view/720/70/
Menulis pada Anak Disleksia
Ketika belajar menulis, anak-anak disleksia melakukan hal-hal berikut.
1. menuliskan huruf-huruf dengan urutan yang salah dalam sebuah kata;
2. tidak menuliskan sejumlah huruf-huruf dalam kata-kata yang ingin ia tulis;
3. menambahkan huruf-huruf pada kata yang ingin ia tulis;
4. mengganti satu huruf dengan huruf lainnya, sekalipun bunyi huruf-huruf tersebut tidak sama;
5. menuliskan sederetan huruf yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan bunyi kata-kata yang ingin ia tuliskan;
6. mengabaikan tanda-tanda baca yang terdapat dalam teks-teks yang sedang ia baca.

Hasil-Hasil Riset
1. Rutter dan rekan telah menganalisis lebih dari 10.000 anak-anak di Selandia Baru yang diikutkan dalam uji membaca standar. Usia anak-anak itu berkisar antara 7-15 tahun. Disleksia ditemukan pada 18 hingga 22 persen murid lelaki. Sedangkan pada murid perempuan hanya sekitar 8-13 persen saja (Magdalena, 2003). Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2004/0716/kes1.html
2. Disleksia ditandai dengan adanya dengan kesulitan membaca pada anak maupun orang dewasa yang seharusnya menunjukkan kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih & akurat. Angka penderita disleksia pada anak usia sekolah sekitar 5 sampai 17 di dunia. Kurang lebih 80 persen gangguan belajar mengalami disleksia (Rini Sekartini, 2007). Sumber: http://www.halalguide.info/content/view/720/70/
3. Pada pemeriksaan terhadap anak-anak Jerman dengan kesulitan membaca dan menulis serius, tim ilmuwan menemukan gen tertentu, yang diperkirakan berkontribusi terhadap masalah yang dihadapi anak-anak tersebut. Bagairnana gen tersebut berkontribusi? Hasilnya, belum jelas.
Diperkirakan gen tersebut mempengaruhi migrasi sel saraf di otak. Hasil temuan itu akan dipublikasikan dalam American Journal of Human Genetics edisi Januari 2006. Gen tersebut diindikasikan ilmuwan dari Amerika Serikat dan Inggris terletak di daerah koromosom 6. Tetapi kelompok peneliti Jerman dan Swedia telah mengidentiflkasikan suatu gen tunggal di daerah tersebut, yang ditemukan di antara anak-anak Jerman, yang merupakan faktor penting penyebab disleksia. Gen tunggal tersebut, menurut tim, dikenal sebagai gen DCDC2. Perubahan dalam gen DCDC2 sering kali diternukan di antara penderita disleksia. Perubahan gen kebanyakan ditemukan pada anak-anak yang memiliki masalah membaca dan menulis. Gen tersebut nampak memicu hubungan kuat dengan proses informasi berbicara saat menulis (Irfan Arief, 2007). Sumber: Sumber: http://www.pjnhk.go.id/content/view/370/32/
4. Ferrei & Winwright (1984; Le Fanu, 2006) berpendapat bahwa permasalahan gangguan dalam belajar disebabkan oleh adanya ketidakcocokkan antara sphenoid dan tulang rawan pada otak. Ketidakcocokkan ini diduga berpengaruh terhadap cara kerja syaraf-syaraf yang mempengaruhi kerja otot-otot mata. Tetapi ternyata mereka tidak berhasil menemukan perbedaan apapun.
5. Pada tahun 1980 Irlen (Le Fanu, 2006) menemukan bahwa orang-orang disleksia mengalami gangguan serius pada indera penglihatan yang menyebabkan matanya mengalami kesulitan ketika harus menyesuaikan cahaya dari sumber-sumber tertentu, dengan tingkat kekontrasan tertentu. Kemampuan untuk menyesuaikan variasi-variasi cahaya disebut sebagai scotopic adaptation. Tetapi, hipotesisi Irlen ini tidak mempunyai memiliki basis riset yang kuat dan terpercaya.
6. Alfred Tomatis & Guy Berard (Le Fanu, 2006) mencoba mengungkap riset melalui auditory processing problems atau membedakan antara bagian-bagian kalimat yang terucap dengan suara-suara lain yang menjadi latar belakang dari dialog ketika kalimat-kalimat tersebut diucapkan. Hasilnya, tidak ada teori yang mendukung maupun yang menolaknya.
7. Jean Ayres (1972; Le Fanu, 2006) menegaskan bahwa disleksia disebabkan oleh adanya gangguan pada system vestibular. Vestibular merupakan bagian dalam telinga menjadi alat detektor posisi kepala terhadap gravitasi bumi dan menstransmisikan informasi ini ke dalam otak. Kemudian vestibular ini dikaitkan dengan indera penglihatan dan menyatakan bahwa gangguan dalam membaca disebabkan oleh lemahnya ‘integrasi sensorik’.
8. Palatajko (1985; Le Fanu, 2006) membuktikan bahwa gangguan dalam membaca dan gangguan vestibular merupakan dua keadaan yang terpisah dan tidak memiliki keterkaitan satu sama lain.
9. Sedangkan Levinson (Le Fanu, 2006) menegaskan adanya korelasi antara fungsi vestibular, cerebellum dan disleksia. Kemudian peneliti lain mengkritik tajam karena penelitian yang ia lakukan tidaklah memadai dan terlalu bias.
10. Glenn Doman (1960; Le Fanu 2006) berpendapat bahwa gangguan-gangguan dalam belajar terjadi karena seorang anak dalam perkembangan fungsi gerak pada organ tubuhnya tidak berada dalam urutan yang normal. Gangguan yang berkaitan dengan hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan otak dan sistem saraf dan selanjutnya menyebabkan gangguan dalam membaca. Tidak ada riset lain yang menunjang teori ini bahkan mendapat kritikan tajam dalam jurnal-jurnal kesehatan.
11. Tidak satu pun teori-teori alternatif yang berusaha menjelaskan penyebab disleksia ini didukung oleh bukti-bukti ilmiah, tetapi teori-teori ini tetap beredar dengan bebas (Le Fanu, 2006:75).
Faktor Penyebab
Faktor penyebab disleksia disinyalir melalui:
1. Faktor keturunan
2. Memiliki masalah pendengaran sejak usia dini
3. Faktor kombinasi kedua faktor di atas
Ada dua faktor lingkungan lingkungan yang telah dikaji pengaruhnya terhadap gangguan belajar pada anak, yaitu timbal dan cahaya udara. Bagaimana dengan lingkungan sekolah? Para peneliti telah mempelajari tiga faktor secara khusus, yaitu: ruangan kelas yang terbuka, pencahayaan dan kualitas udara. Sekalipun demikian, sampai saat ini belum ada riset yang memiliki bukti kuat yang membenarkan faktor pencahayaan atau pemasangan generator ion di dalam kelas benar-benar bisa mempengaruhi prestasi belajar siswa (Le Fanu, 2006).
Sebuah Pengalaman Mengintervensi Penderita Disleksia
Dalam prakteknya, Le Fanu (2006: 93-95) melakukan serangkaian tahapan sebagai berikut.
1. mengumpulkan data mengenai intelegensi dan kepribadian;
2. mengelaborasi lebih jauh pertanyaan-pertanyaan seputar kemungkinan bahwa anak pernah mengalami keterlambatan-keterlambatan perkembangan ketika masih kanak-kanak yang mana hal ini akan berpengaruh terhadap prestasi sekolah sang anak;
3. menguji kemampuan membaca anak untuk mengetahui pada tingkat berapa sebenarnya ia berada;
4. memberikan tes matematika tertulis. Jika permasalahannya pada membaca soal, tidak terhadap materi dan isi soal matematika itu, berarti ia mengalami gangguan dalam membaca;
5. melihat catatan dan laporan dari pihak sekolah. Ketika setiap mata pelajaran yang melibatkan kemampuan membaca secara individu, bukan lagi membaca dalam sebuah kelompok atau lainnya, penderita disleksia mulai mengalami kesulitan menyelesaikan pekerjaannya;
6. menemukan kemungkinan riwayat keluarga si anak. Bisa jadi ada kaitannya dengan faktor keturunan;
7. mengetahui lebih jauh mengenai kapasitas anak dalam memberikan perhatian kepada aktivitas-aktivitas yang ia senangi, seperti hobi seni, kerajinan tangan, dan game.
Pemberian Bantuan
Cara yang paling sederhana dan efektif untuk membantu anak-anak yang mengalami gangguan disleksia adalah dengan memberikan pelajaran membaca dengan menggunakan metode phonic. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gittelman & Feingold (1983; Le Fanu, 2006). Gittelman & Feingold memberikan kesimpulan sebagai berikut.
1. Intervensi terhadap pelajaran membaca dalam bentuk phonic benar-benar terbukti membantu anak-anak yang memiliki masalah dengan membaca.
2. Empat bulan bukanlah waktu yang terlalu panjang untuk menangani permasalahan membaca yang mereka kerjakan secara tuntas.
3. Kemajuan terjadi pada akhir perlakuan.
4. Tes-tes yang dimaksudkan untuk mengetahui jenis-jenis tertentu dari permasalahan membaca tidaklah diperlukan.
Cara yang Dilakukan oleh Orang Tua
Orang tua dapat melakukan program phonic di rumah dengan cara-cara sebagai berikut.
1. cobalah membuat jadwal harian untuk membiasakannya membaca.
2. istirahatlah barang sejenak apabila anak Anda terlihat kelelahan, lapar atau mulai jenuh.
3. jangan memberikan pelajaran terlalu lama dan banyak ketika baru pertama kali melakukannya.
4. buatlah target-target yang ingin dicapai.
5. beri reward & punishment pada anak setiap melakukan kemajuan dan kesalahan.
6. buat kesan pada kata-kata yang ada dalam cerita ketika dibacakan, anak tidak berarti harus mengulang kata.
7. mulailah dengan membaca beberapa halaman atau paragraf pertama dari sebuah cerita dengan suara keras agar anak Anda terpancing untuk menyimak.
8. buatlah aktivitas-aktivitas yang variatif dengan memberikan beberapa sesi untuk mengerjakan permainan-permainan huruf di samping aktivitas membaca.
9. jadikan sesi ini sebagai pengganti sesi membaca denga suara keras di hadapan anak Anda.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, pendekatan yang paling baik adalah dengan menggunakan guru kelas regular untuk anak-anak tersebut. Namun, apabila masih kesulitan, guru tersebut bisa dibantu oleh seorang spesialis, yang akan memberikan pelajaran membaca berikut penjelasan phonic.
Intervensi Ahli (Konselor & Psikolog)
Konselor atau psikolog bisa memberikan terapi apabuila anak penderita disleksia mengalami hal-hal berikut ini.
1. Stress karena takut belajar membaca.
2. permasalahan membaca pada anak tersebut memancing terjadinya konflik dalam sebuah keluarga, atau apabila sang anak merasa terisolir dari lingkungan pergaulannya dikarenakan permasalahan membaca yang mereka alami

DISLEKSIA
Faktor-faktor yang mempengaruhi:

Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi, bahwa 80% dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga yang kidal. Tim peneliti Jerman dan Swedia menernukan gen DCDC2 di daerah koromosom 6. Diduga, faktor penting penyebab disleksia, karena mempengaruhi migrasi sel saraf pada otak Selama beberapa tahun, psikolog anak dan remaja di Universitas Marburg dan Wurzburg mencari keluarga dengan keluarga (setidaknya satu orang anak) yang mengalami disleksia. "Kemudian kami menganalisa sampel darah yang diambil dari keluarga-keluarga tersebut untuk mengidentifikasikan gen kandidat, dan kami menemukannya," kata Dr. Gerd Schulte Korne, yang mengepalai penelitian ini.
Gen tersebut diindikasikan ilmuwan dari Amerika Serikat dan Inggris terletak di daerah koromosom 6. Tetapi kelompok peneliti Jerman dan Swedia telah mengidentiflkasikan suatu gen tunggal di daerah tersebut, yang ditemukan di antara anak-anak Jerman, yang merupakan faktor penting penyebab disleksia. Gen tunggal tersebut, menurut tim, dikenal sebagai gen DCDC2. "Nampaknya gen ini mempengaruhi migrasi sel saraf pada otak yang sedang berkembang," ujar Profesor Dr. Markus Nothen dari the Life and Brain Centre, Universitas Bonn, Prof, NSthen dan tim bertanggung jawab atas penelitian molekuler dalam proyek ini. Perubahan dalam gen DCDC2 sering kali ditemukan di antara penderita disleksia. Perubahan gen kebanyakan ditemukan pada anak-anak yang memiliki masalah membaca dan menulis. Gen tersebut nampak memicu hubungan kuat dengan proses informasi berbicara saat menulis.
Problem pendengaran sejak usia dini, Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah diperlukan.Apabila dalam 5 tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter ahli.
Faktor kombinasi
Faktor kombinasi ini mnyebabkan kondisi anak dengan gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut dewasa.
Macam-macam disleksia
Menurut Yulia Ekawati Tasbita, S.Psi:
a.Disleksia Murni,
yang meliputi:
1) Disleksia visual, Disebabkan oleh gangguan memori visual (penglihatan yang berat). Anak dengan gangguan ini ditandai dengan sama sekali tidak dapat membaca huruf atau hanya dapat membaca huruf demi huruf saja. Membaca atau menulis huruf yang mirip bentuknya sering terbalik, mis : b dengan p, p dengan q.
2) Disleksia auditorik, Disebabkan gangguan pada lintasan visual (pengelihatan) - auditorik (pendengaran), dalam hal ini bentuk-bentuk tulisan secara visual tidak mampu membangkitkan imajinasi bunyi atau pengucapan kata-kata apapun atau sebaliknya dimana bunyi kata tidak mampu membangkitkan bayangan huruf/kata tertulis.
b.Disleksia Tidak Murni
Sebagai akibat dari gangguan aspek bahasa (difasia). Disleksia tipe tersebut dinamakan disleksia verbal, yang ditandai dengan terganggunya kemampuan membaca secara cepat dan benar, serta kurangnya pemahaman arti yang telah dibacanya, sehingga tampak disamping kurang lancar dalam membaca, banyak tanda baca yang diabaikan begitu saja, hal ini juga sebagai isyarat bahwa sebenarnya dia kurang memahami apa yang tengah dibacanya.
Menurut dr.Endang.w.Ghozali:
a. Disleksia Primer, ada kesukaran membaca terutama dalam mngintegrasikan simbol-simbol huruf atau kata-kata, disebabkan kelainan biologis, 10 persen dari anak berintelegensi normal menderita disleksia primer, perbandingan anak laki-laki dan perempuan adalah 5:1?
b. Disleksia Sekunder, kemampuan membaca terganggu karena dipengaruhi oleh kecemasan, depresi, menolak membaca, kurang motivasi belajar, gangguan penyesuaian diri atau gangguan kepribadian. Dasar teknik membaca masih baik, tetapi kemampuan membaca tersebut digunakan secara kurang efektif karena dipengaruhi faktor emosi.
Analisis kasus
Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa anak tersebut diduga menderita kesukaran belajar dalam bahasa tertulis (menulis dan membaca) yang disebut disleksia. Disleksia yaitu kesukaran belajar atau suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu,arah,dan masa. Hal tersebut dapat dilihat ketika anak tersebut disuruh membaca huruf dan angka sang anak mengalami kesulitan.Pada dasarnya ada berbagai variasi tipe disleksia. Penemuan para ahli memperlihatkan bahwa perbedaan variasi itu begitu nyata, hingga tidak ada satu pola baku atau kriteria yang betul-betul cocok semuanya terhadap ciri-ciri seorang anak disleksia. "Misalnya, ada anak disleksia yang bermasalah dengan kemampuan mengingat jangka pendeknya, sebaliknya ada pula yang ingatannya justru baik sekali. Lalu, ada yang punya kemampuan matematis yang baik, tapi ada pula yang parah. Untuk itulah bantuan ahli (psikolog) sangat diperlukan untuk menemukan pemecahan yang tepat," anjur Rini. Sebagai gambaran, para ahli akan membantu mereka dengan menggunakan berbagai metode berikut:

* Metode multi-sensory
Dengan metode yang terintegrasi, anak akan diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara pendengaran, penglihatan dan sentuhan sehingga mempermudah otak bekerja mengingat kembali huruf-huruf.
* Membangun rasa percaya diri
Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami atau diketahui lingkungannya,
termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya, mereka cenderung dianggap bodoh dan lamban dalam belajar karena tidak bisa membaca dan menulis dengan benar seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena itu mereka sering dilecehkan, diejek atau pun mendapatkan perlakuan negatif, sementara kesulitan itu bukan disebabkan kemalasan.
Alangkah baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap kesulitan anak. Dari situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu faktor penghambat proses belajarnya. Setelah ditemukan, tentu bisa diputuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai dari proses pengenalan dan pemahaman fonem sederhana, hingga permainan kata dan kalimat dalam buku-buku cerita sederhana. Penguasaan anak terhadap bahan-bahan tersebut, dalam proses yang bertahap, dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa amannya. Jadi, berkat usaha dan ketekunan mereka, para penyandang disleksia ini dapat juga menguasai kemampuan membaca dan menulis.
Orang tua dan guru serta pendamping lainnya mungkin melihat dan menemukan adanya kelebihan dari anak-anak seperti ini. Menurut penelitian, mereka cenderung mempunyai kelebihan dalam hal koordinasi fisik, kreativitas, dan berempati pada orang lain. Untuk membangun rasa percaya dirinya, ajaklah mereka mengevaluasi dan memahami diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara objektif dan tidak hanya terfokus pada kekurangannya sebagai anak dengan gangguan disleksia.
Anak-anak tersebut perlu diajak mencari dan mencatat semua kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian dibahas bersama satu demi satu. Misalnya, anak melihat bahwa dirinya bukan orang yang mampu menulis dan mengarang dengan baik, tapi di lain pihak ia adalah seorang pemain basket yang handal dan sekaligus perenang yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa mengeja dengan benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang suka padanya.
Intinya, bantulah mereka menemukan keunggulan diri, agar bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan yang saat ini sedang diatasi. Kalau perlu, jelaskan pada mereka figur-figur orang terkenal yang mampu mengatasi problem disleksianya dan melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat.
KESIMPULAN
Anak berkesulitan belajar (LD) adalah individu yang mengalami gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis dasar, disfungsi sistem syarat pusat, atau gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam kegagalan-kegagalan yang nyata dalam pemahaman dan penggunaan pendengaran, berbicara, membaca, mengeja, berpikir, menulis, berhitung, atau keterampilan sosial. Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi, tetapi dapat muncul secara bersamaan. Disleksia yaitu kesukaran belajar atau suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu,arah,dan masa. Hal tersebut dapat dilihat ketika anak tersebut disuruh membaca huruf dan angka sang anak mengalami kesulitan.

DISLEKSIA PADA ANAK

Disleksia ditandai dengan adanya kesulitan membaca pada anak maupun dewasa yang
seharusnya menunjukkan kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih dan akurat.
Disleksia merupakan salah satu masalah tersering yang terjadi pada anak dan dewasa. angka
kejadian di dunia berkisar 5-17% pada anak usia sekolah. Disleksia adalah gangguan yang
paling sering terjadi pada masalah belajar. Kurang lebih 80% penderita gangguan belajar
mengalami disleksia.
Angka kejadian disleksia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu
berkisar 2:1 sampai 5:1. Ada juga yang mengatakan bahwa ternyata tidak terdapat perbedaan
angka kejadian antara laki-laki dan perempuan.

Deteksi dini disleksia pada anak

Kesulitan membaca yang tidak diharapkan (kesulitan membaca pada seseorang yang tidak
sesuai dengan kemampuan kognitif orang tersebut atau tidak sesuai dengan usia, tingkat
kepandaian dan tingkat pendidikan), selain itu terdapat masalah yang berhubungan dengan
proses fonologik.
Pada anak usia prasekolah, adanya riwayat keterlambatan berbahasa atau tidak tampaknya
bunyi dari suatu kata (kesulitan bermain kata-kata yang berirama, kebingungan dalam
menghadapi kata-kata yang mirip, kesulitan belajar mengenal huruf) disertai dengan adanya
riwayat keluarga yang menderita disleksia, menunjukkan faktor risiko yang bermakna untuk
menderita disleksia.
Pada anak usia sekolah biasanya keluhan berupa kurangnya tampilan di sekolah tetapi sering
orangtua dan guru tidak menyadari bahwa anak tersebut mengalami kesulitan membaca.
Biasanya anak akan terlihat terlambat berbicara, tidak belajar huruf di taman kanak-kanak dan
tidak belajar membaca pada sekolah dasar. Anak tersebut akan makin tertinggal dalam hal
pelajaran sedangkan guru dan orangtua biasanya makin heran mengapa anak dengan tingkat
kepandaian yang baik mengalami kesulitan membaca.
Walaupun anak telah diajarkan secara khusus, biasanya anak tersebut akan dapat membaca
tetapi lebih lambat. Anak tidak akan fasih membaca dan tidak dapat mengenali huruf secara
tepat. Disgrafia biasanya menyertai disleksia. Selain itu penderita disleksia akan mengalami
gangguan kepercayaan diri.

Penilaian membaca

Membaca dinilai berdasarkan analisis, kefasihan dan pemahaman. Tes yang dapat digunakan
untuk menilai fonologi anak adalah Comprehensive Test of Phonological (CTOPP). Tes ini
mencakup kepekaan fonologik, analisa fonologik dan menghapal. Tes ini telah distandarisasi di

Disleksia Pada Anak
Amerika Serikat untuk anak usia 5 tahun sampai dewasa.
Pada anak usia sekolah salah satu tes yang penting adalah menilai apakah anak tersebut dapat
menganalisis kata. Tes yang digunakan adalah Woodcock-Johnson III dan Woodcock Reading
Mastery Test. Kefasihan berbicara dinilai dengan Gary Oral Reading Test. Untuk menilai
kecepatan membaca suatu kata digunakan Test of World Reading Efficiency (TOWRE).
Sebagai uji tapis bagi para dokter, disarankan untuk mendengarkan dengan seksama saat anak
membaca yang sesuai dengan usianya.

Pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan fisis memiliki peran yang sangat terbatas dalam mendiagnosis disleksia.
Gangguan sensori primer harus disingkirkan. Pemeriksaan neurologik pada penderita disleksia
biasanya normal.
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologis, elektroensefalografi dan analisis
kromosom hanya dilakukan jika terdapat indikasi klinis. Pada kasus tertentu, pemeriksaan
genetik harus dilakukan jika terdapat indikasi klinis. Pada kasus tertentu, pemeriksaan genetik
harus dilakukan mengingat terdapat kelainan genetik seperti sindrom Klinefelter yang
berhubungan dengan kesulitan bahasa dan mambaca

SULIT MEMBACA BISA JADI DISLEKSIA
Ketidakmampuan membaca pada anak sering digeneralisir sebagai kelemahan intelegensi. Padahal, bisa jadi ia mengalami disleksia.
Disleksia atau gangguan berupa kesulitan membaca, menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Hermawan Consulting, pada dasarnya disebabkan kelainan neurologis. Gejalanya, kemampuan membaca si anak berada di bawah kemampuan yang semestinya dengan mempertimbangkan tingkat intelegensi, usia dan pendidikannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh John Bradford (pendiri Direct Learning, sebuah lembaga pengembangan program untuk Learning Disabilities di Amerika), disleksia lebih banyak diderita pria daripada wanita.
Rini melanjutkan, "Gangguan ini bukanlah bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti kesulitan visual. Ia lebih mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut."
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
Meski belum ada yang dapat memastikan penyebab disleksia ini, penelitian-penelitian menyimpulkan adanya 3 faktor penyebab, yaitu;
* Faktor keturunan
Disleksia cenderung terdapat pada keluarga yang mempunyai anggota kidal. Orang tua yang disleksia tidak secara otomatis menurunkan gangguan ini kepada anak-anaknya, atau anak kidal pasti disleksia. Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi, bahwa 80 persen dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga yang kidal.
* Problem pendengaran sejak usia dini
Apabila dalam 5 tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter ahli.
Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah diperlukan.
* Faktor kombinasi
Ada pula kasus disleksia yang disebabkan kombinasi dari 2 faktor di atas, yaitu problem pendengaran sejak kecil dan faktor keturunan. Faktor kombinasi ini menyebabkan kondisi anak dengan gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut dewasa.
Dengan perkembangan teknologi CT Scan, bisa dilihat bahwa perkembangan sel-sel otak penderita disleksia berbeda dari mereka yang nondisleksia. Perbedaan ini mempengaruhi perkembangan fungsi-fungsi tertentu pada otak mereka, terutama otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.
Selain itu, terjadi perkembangan yang tidak proporsional pada sistem magno-cellular di otak penderita disleksia. Sistem ini berhubungan dengan kemampuan melihat benda bergerak. Akibatnya, objek yang mereka lihat tampak berukuran lebih kecil. Kondisi ini menyebabkan proses membaca jadi lebih sulit karena saat itu otak harus mengenali secara cepat huruf-huruf dan sejumlah kata berbeda yang terlihat secara bersamaan oleh mata.
CARA MENGATASI
Pada dasarnya ada berbagai variasi tipe disleksia. Penemuan para ahli memperlihatkan bahwa perbedaan variasi itu begitu nyata, hingga tidak ada satu pola baku atau kriteria yang betul-betul cocok semuanya terhadap ciri-ciri seorang anak disleksia. "Misalnya, ada anak disleksia yang bermasalah dengan kemampuan mengingat jangka pendeknya, sebaliknya ada pula yang ingatannya justru baik sekali. Lalu, ada yang punya kemampuan matematis yang baik, tapi ada pula yang parah. Untuk itulah bantuan ahli (psikolog) sangat diperlukan untuk menemukan pemecahan yang tepat," anjur Rini.
Sebagai gambaran, para ahli akan membantu mereka dengan menggunakan berbagai metode berikut:
* Metode multi-sensory
Dengan metode yang terintegrasi, anak akan diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara pendengaran, penglihatan dan sentuhan sehingga mempermudah otak bekerja mengingat kembali huruf-huruf.
* Membangun rasa percaya diri
Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami atau diketahui lingkungannya,
termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya, mereka cenderung dianggap bodoh dan lamban dalam belajar karena tidak bisa membaca dan menulis dengan benar seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena itu mereka sering dilecehkan, diejek atau pun mendapatkan perlakuan negatif, sementara kesulitan itu bukan disebabkan kemalasan.
Alangkah baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap kesulitan anak. Dari situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu faktor penghambat proses belajarnya. Setelah ditemukan, tentu bisa diputuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai dari proses pengenalan dan pemahaman fonem sederhana, hingga permainan kata dan kalimat dalam buku-buku cerita sederhana. Penguasaan anak terhadap bahan-bahan tersebut, dalam proses yang bertahap, dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa amannya. Jadi, berkat usaha dan ketekunan mereka, para penyandang disleksia ini dapat juga menguasai kemampuan membaca dan menulis.
Orang tua dan guru serta pendamping lainnya mungkin melihat dan menemukan adanya kelebihan dari anak-anak seperti ini. Menurut penelitian, mereka cenderung mempunyai kelebihan dalam hal koordinasi fisik, kreativitas, dan berempati pada orang lain. Untuk membangun rasa percaya dirinya, ajaklah mereka mengevaluasi dan memahami diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara objektif dan tidak hanya terfokus pada kekurangannya sebagai anak dengan gangguan disleksia.
Anak-anak tersebut perlu diajak mencari dan mencatat semua kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian dibahas bersama satu demi satu. Misalnya, anak melihat bahwa dirinya bukan orang yang mampu menulis dan mengarang dengan baik, tapi di lain pihak ia adalah seorang pemain basket yang handal dan sekaligus perenang yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa mengeja dengan benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang suka padanya.
Intinya, bantulah mereka menemukan keunggulan diri, agar bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan yang saat ini sedang diatasi. Kalau perlu, jelaskan pada mereka figur-figur orang terkenal yang mampu mengatasi problem disleksianya dan melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat.

Aneka Keterlambatan Yang Mengarah Ke Disleksia
Menurut Rini, peristiwa pada anak yang dapat memperkuat dugaan disleksia ini adalah:
1. Lambat bicara jika dibandingkan kebanyakan anak seusianya.
2. Lambat mengenali alfabet, angka, hari, minggu, bulan, warna, bentuk dan informasi mendasar lainnya.
3. Sulit menuliskan huruf ke dalam kesatuan kata secara benar.
4. Menunjukkan keterlambatan ataupun hambatan lain dalam proses perkembangannya.
5. Ada anggota keluarga yang juga mengalami masalah serupa, atau hampir sama.
6. Perhatian mudah teralihkan dan sulit berkonsentrasi.
7. Mengalami hambatan pendengaran.
8. Rancu dalam memahami konsep kiri¬kanan, atas-bawah, utara-selatan, timur-barat.

9. Memegang alat tulis terlalu kuat/keras
9. Rancu atau bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +, -, x, :, dan sebagainya.
10. Mengalami kesulitan dalam mengatakan waktu.
11. Sulit mengikat tali sepatu.
12. Sulit menyalin tulisan yang sudah dicontohkan kepadanya.
13. Mempunyai masalah dengan kemampuan mengingat jangka pendek berkaitan dengan kata-kata maupun instruksi tertulis.
14. Sulit mengikuti lebih dari sebuah instruksi dalam satu waktu yang sama.
15. Tidak dapat menggunakan kamus atau pun buku petunjuk telepon.

Ciri-Ciri Anak Disleksia
"Gangguan disleksia biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu," ujar Rini. Sebelumnya, di TK, kemampuan membaca anak tidak menjadi tuntutan, itulah mengapa gejalanya sulit diketahui sejak usia dini. Inilah ciri-cirinya:
1. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
2. Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misalnya kata "saya" urutan hurufnya adalah s ¬ a ¬ y ¬ a.
3. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata.
4. Sulit mengeja secara benar. Bahkan bisa jadi anak tersebut akan mengeja satu kata dengan bermacam ucapan. Walaupun kata tersebut berada di halaman buku yang sama.
5. Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Bisa terjadi anak dengan gangguan ini akan terbalik-balik membunyikan huruf, atau suku kata. Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk, seperti d - b, u - n, m - n. Ia juga rancu membedakan huruf/fonem yang memiliki kemiripan bunyi, seperti v, f, th.
6. Membaca suatu kata dengan benar di satu halaman, tapi keliru di halaman lainnya.
7. Bermasalah ketika harus memahami apa yang dibaca. Ia mungkin bisa membaca dengan benar, tapi tidak mengerti apa yang dibacanya.
8. Sering terbalik-balik dalam menuliskan atau mengucapkan kata, misalnya "hal" menjadi "lah" atau "Kucing duduk di atas kursi" menjadi "Kursi duduk di atas kucing."
9. Rancu terhadap kata-kata yang singkat. Misalnya, ke, dari, dan, jadi.
10. Bingung menentukan harus menggunakan tangan yang mana untuk menulis.
11. Lupa mencantumkan huruf besar atau mencantumkannya pada tempat yang salah.
12. Lupa meletakkan titik dan tanda-tanda seperti koma, tanda seru, tanda tanya, dan tanda baca lainnya.
13. Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang baik.
14. Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Anak dengan gangguan ini biasanya menulis dengan tidak stabil, tulisannya kadang naik dan kadang turun.
15. Menempatkan paragraf secara keliru.


Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai dengan hambatan-hambatan tertentu, dalam mencapai tujuan belajar. Kondisi ini ditandai kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh problem-problem neurologis, maupun sebab-sebab psikologis lain, sehingga prestasi belajarnya rendah, tidak sesuai dengan potensi dan usaha yang dilakukan.
Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis manifiestasi tingkah laku (bio-psikososial) baik secara langsung atau tidak, bersifat permanen dan berpotensi menghambat berbagai tahap belajar siswa.
Tidak seperti cacat lainnya, sebagaimanan kelumpuhan atau kebutuaan gangguan belajar (learning disorder) adalah kekurangan yang tidak tampak secara lahiriah. Ketidakmampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang berbeda dengan orang normal lainnya. Kesulitan belajar adalah keterbelakangan yang mempengaruhi kemampuan individu untuk menafsirkan apa yang mereka lihat dan dengar. Kesulitan belaja juga merupakan ketidakmampuan dalam menghubungkan berbagai informasi yang berasal dari berbagai bagian otak mereka. Kelemahan ini akan tampak dalam beberapa hal, seperti kesulitan dalam berbicara dan menuliskan sesuatu, koordinasi, pengendalian diri atau perhatian. Kesulitan-kesulitan ini akan tampak ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan sekolah, dan menghambat proses belajar membaca, menulis, atau berhitung yang seharusnya mereka lakukan.
Kesulitan belajar dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Bebarapa kasus memperlihatkan bahwa kesulitan ini memengaruhi banyak bagian dalam kehidupan individu, baik itu di sekolah, pekerjaan, rutinitas sehari-hari, kehidupan keluarga, atau bahkan terkadang dalam hubungan persahabatan dan bermain. Beberapa penderita menyatakan bahwa kesulitan ini berpengaruh pada kebahagiaan mereka. Sementara itu, penderita lainnya menyatakan bahwa gangguan ini mengahambat proses belajar mereka, sehingga tentu saja pada gilirannya juga akan berdampak pada aspek lain dari kehidupan mereka.
Dari sejumlah pendapat di atas, kesulitan belajar mempunyai pengertian yang luas dan terjabarkan dalam istilah-istilah, seperti:
a) Learning Disorder (ketergantungan belajar), adalah keadaan di mana proses belajar siswa terganggu, karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya siswa, yang mengalami gangguan belajar seperti ini, prestasi belajarnya tidak terganggu, akan tetapi proses belajarnya yang terlambat, oleh adanya respon-respon yang bertentangan. Dengan demikian, hasil belajar yang dicapai akan lebih rendah dari potensi yang dimiliki.
b) Learning Disabelities (ketidakmampuan belajar), adalah ketidakmampuan seorang siswa, yang mengacu kepada gejala di mana siswa tidak mampu belajar (menghindari belajar), sehingga hasil belajarnya di bawah potensi intelektualnya.
c) Learning Disfunction (ketidak_fungsian belajar), adalah gejala di mana proses belajar tidak berfungsi dengan baik, meskipun pada dasarnya tidak ada tanda-tanda subnormalitas mental, gangguan alat dria atau gangguan-gangguan psikologis yang lainnya.
d) Under Achiever (pencapaian randah), yang mengacu kepada anak-anak atau siswa yang memiliki tingkat potensi intelektual di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Terbukti, pada hasil belajar (sekolah) yang buruk.
e) Slow Learner (lambat belajar), adalah siswa yang lambat dalam proses balajarnya, sehingga membutuhkan waktu lebih lama, dibandingkan dengan anak-anak yang lain memilih taraf potensial intelektual yang sama.
 Strata Jenis Kesulitan Belajar
Mengenali kesulitan belajar jelas berbeda dengan mendiagnosis penyakit cacar air atau campak. Cacat air dan campak tergolong penyakit dengan gejala yang dapat dikenali dengan mudah. Berbeda dengan kesulitan belajar (learning disorder) yang sangat rumit dan meliputi begitu banyak kemungkinan penyebab, gejala-gejala, perawatan, serta penanganan. Kesulitan belajar yang memiliki beragam gejala ini, sangatlah sulit untuk didiagnosis dan dicari penyebab secara pasti. Hingga saat ini belum ditemukan obat atau perawatan yang sanggup menyembuhkan mereka sepenuhnya.
Faktor hereditas (genetik) dan lingkungan (environmental) siswa, sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajarnya. Artinya, potensi intelligensi, bakat, minat, motivasi, kurikulum, kualitas dan model pembelajaran guru, turut memberikan andil bagi keberhasilan anak didiknya di sekolah.

 Macam-macam Kesulitan Belajar Siswa
Tidak semua kesulitan dalam proses belajar dapat disebut learning disorder. Sebagian anak atau siswa mungkin hanya mengalami kesulitan dalam mengembangkan bakatnya. Kadang-kadang, seseorang memperlihatkan ketidak wajaran dalam perkembangan alaminya, sehingga tampak seperti penderita berkesulitan belajar, namun ternyata hanyalah keterlambatan dalam proses pendewasaan diri saja. Sebenarnya, para ahli telah menentukan kriteria-kriteria pasti dimana seseorang dapat dinyatakan sebagai penderita kesulitan belajar.
Kriteria yang harus dipenuhi sebelum seseorang dinyatakan menderita kesulitan belajar, tertuang dalam sebuah buku petunjuk yang berjudul DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder). Diagnosis yang didasarkan pada DSM umumnya dilakukan ketika individu mengajukan perlindungan asuransi kesehatan dan layanan perawatan. Wood (2005), menyebutkan kesulitan belajar dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, diantaranya:
a. Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa
b. Permasalahan dalam hal kemampuan akademik
c. Kesulitan lainnya, yang mencakup kesulitan dalam mengordinasi gerakan anggota tubuh serta permasalahan belajar yang belum dicakup oleh kedua kategori di atas.
Masing-masing kategori itu mencakup pula kesulitan-kesulitan lainnya yang lebih spesifik, dan pada makalah ini akan dipaparkan tentang kesulitan belajar membaca (disleksia).
 Pengertian disleksia
Istilah disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni dys yang berarti sulit dalam dan lex berasal dari legein, yang artinya berbicara. Jadi secara harfiah, disleksia berarti kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Kelainan ini disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan tertulis, atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata secara tertulis.
Bryan & Bryan (dalam Abdurrahman, 1999: 204), menyebut disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatau yang berkenaan dengan waktu, arah dan masa. Sedangkan, menurut Lerner seperti di kutip oleh Mercer (1979: 200), mendefinisikan kesulitan belajar membaca sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk pada adanya gangguan fungsi otak.
Pada kenyataannya, kesulitan membaca dialami oleh 2-8% anak sekolah dasar. Sebuah kondisi, dimana ketika anak atau siswa tidak lancar atau ragu-ragu dalam membaca; membaca tanpa irama (monoton), sulit mengeja, kekeliruan mengenal kata; penghilangan, penyisipan, pembalikan, salah ucap, pengubahan tempat, dan membaca tersentak-sentak, kesulitan memahami; tema paragraf atau cerita, banyak keliru menjawab pertanyaan yang terkait dengan bacaan; serta pola membaca yang tidak wajar pada anak.
 Karakteristik disleksia
Ada empat kelompok karakteristik kesulitan belajar membaca, yaitu kebiasaan membaca, kekeliruan mengenal kata, kekeliruan pemahaman, dan gejala-gejala serba aneka, (Mercer, 1983) .
Dalam kebiasaan membaca anak yang mengalami kesulitan belajr membaca sering tampak hal-hal yang tidak wajar, sering menampakkan ketegangannya seperti mengernyitkan kening, gelisah, irama suara meninggi, atau menggigit bibir. Mereka juga merasakan perasaan yang tidak aman dalam dirinya yang ditandai dengan perilaku menolak untuk membaca, menangis, atau melawan guru. Pada saat mereka membaca sering kali kehilangan jejak sehingga sering terjadi pengulangan atau ada barisyang terlompat tidak terbaca.
Dalam kekeliruan mengenal kata ini memcakup penghilangan, penyisipan, penggantian, pembalikan, salah ucap, perubahan tempat, tidak mengenal kata, dan tersentak-sentak ketika membaca.
Kekeliruan memahami bacaan tampak pada banyaknya kekeliruan dalam menjawab pertanyaan yang terkait dengan bacaan, tidak mampu mengurutkan cerita yang dibaca, dan tidak mampu memahami tema bacaan yang telah dibaca. Gejala serb aneka tampak seperti membaca kata demi kata, membaca dengan penuh ketegangan, dan membaca dengan penekanan yang tidak tepat.
 Gejala
Gejala disleksia, anak memiliki kemampuan membaca di bawah kemampuan yang seharusnya dilihat dari tingkat inteligensia, usia dan pendidikannya. Hal ini dikarenakan keterbatasan otak mengolah dan memproses informasi tersebut. Disleksia merupakan kesalahan pada proses kognitif anak ketika menerima informasi saat membaca buku atau tulisan.
Jika pada anak normal kemampuan membaca sudah muncul sejak usia enam atau tujuh tahun, tidak demikian halnya dengan anak disleksia. Sampai usia 12 tahun kadang mereka masih belum lancar membaca. Kesulitan ini dapat terdeteksi ketika anak memasuki bangku sekolah dasar.
Ciri-ciri disleksia:
 Sulit mengeja dengan benar. Satu kata bisa berulangkali diucapkan dengan bermacam ucapan.
 Sulit mengeja kata atau suku kata yang bentuknya serupa, misal: b-d, u-n, atau m-n.
 Ketika membaca anak sering salah melanjutkan ke paragraph berikutnya atau tidak berurutan.
 Kesulitan mengurutkan huruf-huruf dalam kata.
 Kesalahan mengeja yang dilakukan terus-menerus. Misalnya kata pelajaran diucapkan menjadi perjalanan.
Banyak faktor yang menjadi penyebab disleksia antara lain genetis, problem pendengaran sejak bayi yang tidak terdeteksi sehingga mengganggu kemampuan bahasanya, dan faktor kombinasi keduanya. Namun, disleksia bukanlah kelainan yang tidak dapat disembuhkan. Hal paling penting adalah anak disleksia harus memiliki metode belajar yang sesuai. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki metode yang berbeda-beda, begitupun anak disleksia.
 Apa yang dapat dilakukan
 Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru
 Anak duduk di barisan paling depan di kelas
 Guru senantiasa mengawasi / mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50
 Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas)
 Anak disleksia yang sudah menunjukkkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup.
 Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat:g, c, o, d, a, s, q, bentuk zig zag:k, v, x, z, bentuk linear:j, t, l, u, bentuk hampir serupa:r, n, m, h.
 Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal.
 Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat perbedaan yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan self-esteem yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal ini tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali-sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.

Masalah Pembelajaran, Disleksia

Apa itu Disleksia?

• Disleksia adalah sejenis masalah pembelajaran khusus yang kerap berlaku.
• Kanak-kanak Disleksia mempunyai masalah menguasai tugasan sekolah walaupun
mereka telah berusaha bersungguh-sungguh
o Mempunyai keupayaan intelek yang normal
o Telah mendapat ransangan dan pembelajaran yang mencukupi
• Masalah asasnya adalah perbezaan cara otak berfungsi dalam menghubungkan simbol
visual dengan bunyi
• Mereka mungkin mengalami kesukaran
o Membaca
o Menulis
o Memahami
o Mengeja
o Mengira
• Dianggarkan 4 – 8 % pelajar sekolah yang bermasalah disleksia
• Kanak-kanak lelaki lebih ramai bermasalah Disleksia berbanding perempuan.

Apakah ciri-ciri Disleksia?
1. Diperingkat pra sekolah mereka mungkin :
o Lambat bertutur
o Mengalami kesukaran sebutan atau rima
o Sukar menulis nama sendiri
o Payah mengenal bentuk atau warna
o Sukar memberitahu cerita yang telah didengarinya
2. Di alam persekolahan, kanak-kanak Disleksia mungkin :
o Gagal menguasai tugasan sekolah seperti membaca, menulis, mengeja atau
mengira
o Tidak suka membaca dan mengelak dari membaca di kelas
o Kesilapan semasa membaca huruf, perkataan atau nombor (Bacaan terbalik) :
▪ 15 dengan 51
▪ “was” menjadi “saw”
▪ ‘b’ dengan ‘d’‘
o Kurang koordinasi seperti sukar mengikat tali kasut
o Keliru dengan konsep masa seperti ‘semalam’, ‘ hari ini’ , ‘esok’
o Kesukaran memahami, mengingati dan mengikuti arahan
o Selalu tersalah letak atau hilang barang atau kerja sekolah
________________________________________
Adakah individu Disleksia mempunyai keistimewaan?
• Antara orang ternama yang juga mengalami Disleksia termasuklah ahli politik (Lee
Kuan Yew), pelakon (Whoopi Goldberg), artis (Leonardo da Vinci) dan saintis
(Albert Einstein)
• Ramai yang berdaya imaginasi tinggi, amat kreatif dan mampu berfikir dari pelbagai
sudut / dimensi
• Bijak dengan kemahiran tangan atau sukan.

Masalah yang mungkin dialaminya
• Salah sangka dan digelar sebagai malas, bodoh atau lembab
• Pembentukan imej diri yang sihat terjejas dan mengalami rasa rendah diri
• Jika tidak dikenalpasti dan dibantu diperingkat awal boleh menyebabkan
o Gangguan emosi (seperti kemurungan)
o Masalah tingkahlaku (seperti melawan, kecelaruan tingkahlaku)
o Rendah pencapaian akademik (menyebabkan keciciran sekolah)

Membantu anak-anak bermasalah Disleksia
Langkah-langkah untuk membantu mereka termasuklah :
1. Bantu kanak-kanak dan keluarga mengendali permasalahan ini dan bina keyakinan
diri anak
2. Rawat penyakit lain yang mungkin berkait seperti Gejala Hiperaktif dan Kurang Daya
Tumpuan
3. Pertingkatkan potensi pembelajaran anak melalui :
o Terapi pertuturan
o Latihan pendengaran dengan bantuan komputer
o Pendekatan pelbagai deria (Menggunakan deria lain untuk membantu
pembelajaran)
1. Deria sentuhan (menggunakan lakaran atas kertas pasir)
2. Deria pendengaran (menggunakan ritma atau bunyi perkataan/ huruf)
3. Merasa pergerakan bibir
4. Menulis huruf atau perkataan
4. Langkah-langkah pemulihan :
o Bantu anak menguasai maklumat secara beransur ansur
o Pengulangan semasa mengajar (konsep ajar berlebihan)



KESULITAN BELAJAR, DISLEKSIA

Kesulitan belajar tidak selalu disebabkan oleh faktor inteligensi yang rendah (kelainan mental), akan tetapi juga disebabkan oleh faktor- faktor non- inteligensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar. Disetiap sekolah dalam berbagai jenis dan tingkatan pasti memiliki anak didik yang berkesulitan belajar. Setiap kali kesulitan belajar anak didik yang satu dapat diatasi, tetapi pada waktu yang lain muncul lagi kesulitan belajar anak didik yang lain. Warkitri dkk mengemukakan kesulitan belajar adalah suatu gejala yang nampak pada siswa yang ditandai adanya hasil belajar rendah dibanding dengan prestasi yang dicapai sebelumnya. Jadi, kesulitan belajar itu merupakan suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan- hambatan tertentu dalam mencapai hasil belajar. M. Alisuf Sabri mengemukakan bahwa kesulitan belajar adalah kesukaran siswa dalam menerima atau menyerap pelajaran disekolah, kesulitan belajar yang dihadapi oleh siswa ini terjadi pada waktu mengikuti pelajaran yang disampaikan atau ditugaskan oleh seorang Guru.
Berhubungan dengan pelajaran matematika, siswa yang mengalami kesulitan belajar antara lain disebabkan oleh hal- hal sebagai berikut:
1. Siswa tidak bisa menangkap konsep dengan benar. Siswa belum sampai keproses abstraksi dan masih dalam dunia konkret. Dia belum sampai kepemahaman yang hanya tahu contoh- contoh, tetapi tidak dapat mendeskripsikannya.
2. Siswa tidak mengerti arti lambang- lambing Siswa hanya menuliskan/ mengucapkan tanpa dapat menggunakannya. Akibatnya, semua kalimat matematika menjadi tidak berarti baginya.
3. Siswa tidak dapat memahami asal- usul suatu prinsip. Siswa tahu apa rumusnya dan menggunakannya, tetapi tidak mengetahui dimana atau dalam konteks apa prinsip itu digunakan.
4. Siswa tidak lancar menggunakan operasi dan prosedur. Ketidaksamaan menggunakan operasi dan prosedur terdahulu berpengaruh kepada pemahaman prosedur lainnya.
5. Ketidaklengkapan pengetahuan Ketidaklengkapan pengetahuan akan menghambat kemampuan siswauntuk memecahkan masalah matematika, sementara itu pelajaran terus berlanjut secara berjenjang.

DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR

Sebelum menetapkan alternatif pemecahan masalah kesultan belajar siswa,
guru sangat dianjur untuk terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya
mengenali gejala dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan
kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya
seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan menetapkan “jenis penyakit” yakni
jenis kesulitan belajar siswa.

Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas
langkah-langkah tertentu yang diorentasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai “diagnostik” kesulitan belajar.

Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru antara lain yang cukup terkenal adalah prosedur Weener dan Senf (1982) sebagaimana yang dikutip Wardani (1991) sebagai berikut:
1. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran.
2. Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa, khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar.
3. Mewawancarai orang tua/ wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar.
4. Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa.
5. Memberikan tes kemampuan inteligensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar.

Sedangkan menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono,diagnosis pun dapat berupa hal-hal sebagai berikut:
1. Keputusan mengenai jenis- jenis kesulitan belajar anak (berat dan ringannya).
2. Keputusan mengenai faktor-faktor yang ikut menjadi penyebab kesulitan belajar.
3. Keputusan mengenai faktor utama penyebab kesulitan belajar.

DISLEKSIA DAN SI BUAH HATI
Buah hati tak kunjung mampu mengucapkan sepatah kata, meski sudah berusia 2 tahun? Hati-hati, bisa jadi itu tanda awal Si Kecil mengidap disleksia alias gangguan yang menyebabkan kemampuan bahasanya terganggu.
Bagi para orangtua, berhati-hatilah ketika menghadapi Si Kecil yang kesulitan belajar membaca dan menulis. Bisa jadi buah hati Anda mengidap gangguan perkembangan kemampuan linguistik (membaca dan menulis). Dan yang kerap dikaitkan dengan gangguan ini adalah disleksia atau gangguan kemampuan membaca dan menulis, yang disebabkan adanya kelainan saraf dalam otak.
Gangguan yang bisa menyebabkan seseorang sulit mengingat dan memahami abjad-abjad ini, konon banyak diidap anak-anak yang memiliki masalah belajar di sekolah. "Sebetulnya, disleksia sudah lama ditemukan sebagai salah satu gangguan belajar atau learning dissorder. Tapi, memang tak banyak orang mengenalnya sebagai disleksia," ungkap Iwan Sintera Togi Aritonang Psi, psikolog yang juga terapis di Bimbingan Remedial Terpadu (BRT), Jakarta.
Pengertian disleksia memang kurang populer di kalangan awam, sehingga banyak orangtua tak tahu jika anaknya mengidap disleksia. Buruknya lagi, karena ketidaktahuannya, banyak orangtua memilih menyelesaikan masalah belajar anak dengan cara melobi pihak sekolah agar sang anak diberi toleransi. Dengan anggapan, sang anak akan mampu beradaptasi dan mengejar ketinggalannya, seiring berjalannya waktu.
Akibatnya, masalah disleksia anak menjadi tak pernah terpecahkan. Bahkan, jika ternyata anak tak juga mampu mengejar ketertinggalannya, justru akan berkembang menjadi masalah kepercayaan diri pada sang anak kelak. Ia akan merasa rendah diri karena terlihat bodoh dihadapan teman-temannya. Lalu, prestasi akademiknya akan merosot, hingga menimbulkan penolakan terhadap tuntutan bersekolah.
"Padahal, kecerdasan anak disleksia belum tentu di bawah rata-rata. Justru kebanyakan dari mereka memiliki kecerdasan seperti orang kebanyakan. Ini hanya masalah pemrosesan bahasa dalam otaknya, bukan masalah intelegensia," ungkap pria yang juga psikolog konseling di sekolah anak berkebutuhan khusus, International Center for Special Need in Education, Jakarta.
BERSIFAT BAWAAN
Bagi anak-anak normal lainnya, membedakan huruf ‘b' dengan ‘d', mengeja dan membaca i-b-u dengan ‘ibu', menyalin tulisan, merangkai huruf dan seterusnya, bukanlah hal yang sulit ilakukan. Namun, bagi anak disleksia, hal-hal yang seharusnya mudah dilakukan (berkaitan dengan membaca dan menulis), menjadi sulit bahkan mustahil dilakukan.
Hal ini terjadi karena pengolahan unsur bahasa, seperti pengenalan huruf, merangkai huruf, bunyi huruf, dan mengeja, gagal dilakukan oleh otaknya. Akibatnya, ia lalu tak mampu mengenali tulisan menjadi bentuk pemahaman dalam memorinya. Akhirnya, ia mengalami kesulitan membaca dan menulis.
Kegagalan pemrosesan unsur bahasa ini disebabkan adanya kerusakan di dalam syaraf yang ada di dalam otaknya. Dan kerusakan ini bersifat bawaan, yang didapat anak sejak ia dilahirkan. Dengan kata lain, telah terjadi kerusakan di otak sejak perkembangan otak mulai terbentuk, atau sejak ia masih berada dalam kandungan.
Beberapa tim peneliti dari Universitas Marburg, Wurzburg, Bonn (Jerman) dan institut dari Stockholm (Swedia) menemukan, disleksia disebabkan oleh adanya gen (DCDC2) yang memengaruhi migrasi sel saraf pada otak yang sedang berkembang. Pendekatan lain berasumsi, kerusakan atau kegagalan pembentukan komposisi otak secara sempurna ini juga bisa dipengaruhi oleh kecukupan gizi semasa ibu mengandung.
"Sementara ini, penyebab pasti disleksia sifatnya masih wacana saja. Seperti halnya pada kasus autisme. Masih merupakan faktor risiko," ungkap Iwan berdasarkan pengamatannya selama ini.
Dan oleh karena perkembangan fisiologis anak lelaki lebih dominan pada kemampuan otak kiri, lanjut Iwan, secara genetis peluang kejadian disleksia akan lebih besar terjadi pada anak lelaki. Karena, disleksia adalah produk dari terjadinya ketidaknormalan pada hemister (belahan) otak kiri, yang merupakan daerah penunjang kemampuan bahasa.
KENALI DENGAN TES
Memang, tak semua kesulitan membaca dan menulis merupakan gejala disleksia. Karena, beberapa anak yang mengalami gangguan ini bisa juga disebabkan karena ia memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, atau memang memiliki gangguan konsentrasi belajar.
Namun, beberapa tes yang berkaitan dengan kemampuan bahasa bisa saja dilakukan, untuk mempertegas dugaan anak mengidap disleksia. Beberapa tes biasa dilakukan Iwan sebelum memastikan seorang anak benar-benar menderita disleksia, antara lain tes melafalkan huruf satu per satu, dari A sampai Z. Lalu, tes menulis penggalan urutan huruf, misalnya dari G sampai Z.
Ada pula tes mengisi bagian huruf yang kosong misalnya "a, b, c, ..., e, f, ..., h". Juga tes merangkai huruf dan mengeja. Serta tes menulis kata yang didiktekan, menyalin tulisan dari papan tulis atau teks dari lembar lain, dan sejumlah tes lainnya, sesuai kompetensi anak seusianya. Untuk anak yang lebih dewasa, tes dengan menggunakan tanda baca, perlu dilakukan.
Dari beberapa tes tadi, akan diketahui apakah anak bermasalah dengan visualisasi huruf, pemrosesan abjad, atau tanda baca dalam bentuk kata atau kalimat. Sehingga, bisa diketahui apakah ia positif mengidap disleksia. Selain tes tadi, psikolog pun perlu mewawancarai dan memberi tes psikologi, untuk memastikan apakah ia juga memiliki kekurangan dalam hal intelegensia.
PERLU TERAPI
Akan tetapi, para orangtua jangan merasa berkecil hati jika buah hatinya ternyata mengidap disleksia. Konon, superstar Hollywood seperti Tom Cruise, Whoopy Goldberg, dan penemu teori relativitas Albert Einstein, adalah pengidap disleksia.
Ingat, disleksia bukanlah harga mati bagi seseorang untuk memiliki masa depan yang suram.
"Disleksia mungkin akan membuat anak sulit berprestasi secara akademis karena hambatan kemampuan baca-tulis. Tapi, dengan ingatan yang kuat mereka bisa dilatih untuk menutupi kekurangannya," ungkap Iwan.
Jadi, saran Iwan, para orangtua dengan anak disleksia, segera lakukan terapi dan konseling, yang akan memetakan permasalahan kesulitan yang dimiliki sang anak. Kemudian, terapis akan menetapkan jadwal latihan membaca dan menulis. "Biasanya, dijadwalkan 1-2 kali tatap muka per minggu, dengan durasi pengajaran 1 jam setiap pertemuan.
Dan sebaiknya, orangtua perlu ikut konseling agar proses belajarnya kontinyu dan bisa dilakukan pengajaran di rumah," ungkap Iwan.
Sebab, yang dilakukan selama terapi adalah untuk mencari solusi atas masalah sang anak. Misalnya, bagi yang sulit membedakan huruf, akan dicarikan cerita lucu untuk bisa membedakan huruf. Atau, menuliskan huruf yang sulit dibaca dalam huruf kapital, serta mengajak anak menambah perbendaharaan kata. Sehingga, pada beberapa anak disleksia yang parah atau berada di level severe, terapis akan menyarankan penggunaan tape recorder sebagai pengganti catatan.
Kendati demikian, diakui Iwan, disleksia memang tak bisa disembuhkan. Namun dengan menjalani terapi rutin, kekurangan ini bisa diminimalisasi agar ia tetap bisa ‘membaca' dan menulis layaknya orang normal. "Jika orangtua sudah tahu anaknya mengidap disleksia, segera bawa ke psikolog atau terapis remedial teaching. Semakin cepat anak diterapi, semakin mudah kekurangannya diatasi," tegas Iwan.
Apalagi, jika anak sudah beranjak dewasa, tuntutan kompetensi bahasanya akan semakin kompleks. Jika dibiarkan semakin berlarut-larut, akan membuat anak semakin sulit mengejar ketertinggalannya.
MENGENAL GEJALA DISLEKSIA
Disleksia sebetulnya bisa dikenali dari sejumlah gejala yang diperlihatkan sang anak. Sejumlah faktor yang bisa dijadikan pedoman untuk mengenalinya, antara lain:
1. LAMBAT BICARA
Normalnya, kemampuan bahasa sudah berkembang sejak anak berusia setahun. Di usia ini biasanya anak sudah mulai bisa mengucapkan satu kata seperti ‘mam'. Dan menginjak usia 2 tahun, anak biasanya sudah bisa merangkai kata, seperti ‘mama ma-em'.
Menurut Iwan, anak disleksia umunya mengalami keterlambatan bicara sejak awal perkembangan kemampuan bahasanya. "Memang tak semua anak yang lambat bicara mengidap disleksia. Tapi, jika Anda merasa sudah memberi cukup stimulus bagi kemampuan bicaranya, sebaiknya waspadai kemungkinan anak mengidap disleksia."
2. TAK BISA MENGHAFAL HURUF
Menjelang masuk usia sekolah, tak jarang orangtua mendaftarkan Si Kecil ke pre school. Di kelas ini biasanya anak sudah mendapat pelajaran menghafalkan huruf, sebagai bekal belajar membaca di sekolah formal kelak.
Pada anak disleksia, bisa terjadi kesulitan membaca-tulis huruf tertentu, misalnya menyebut ‘t' menjadi ‘j', atau ‘b' menjadi ‘d'. Bagi mereka, huruf-huruf ini sulit dibedakan karena bentuknya yang mirip.
Atau, ketika diminta menyebut huruf A-Z, ia mampu. Tetapi, ketika dipenggal untuk menyebut dari huruf G sampai Z, ia akan bingung. Bagi mereka, huruf bersifat hafalan dari bunyi yang didengarnya. Bukan sebagai ingatan akan visualisasi dari huruf.
3. TAK BISA MENGEJA
Jika Si Kecil sulit mengenali sejumlah huruf, saat masuk sekolah formal, ia akan kesulitan mengeja. Misalnya, ketika diajak mengeja d-a-da, d-u-du, lalu diminta melafalkan d-a (yang seharusnya dibaca ‘da'), ia tak mampu. Atau, kesalahan membaca terbalik, misalnya ‘gajah' menjadi ‘jagah'.
4. SALAH MENYALIN
Seringkali ketika diminta menyalin teks, anak disleksia membuat kesalahan berulang. Dan ketika ditanya di mana letak kesalahannya, ia tak mengerti dan merasa sudah menuliskan semua abjad secara benar. Misalnya, menulis ‘badak' menjadi ‘babak'.
5. MALAS MEMBACA
Oleh karena tak mampu memroses tulisan dalam kata, anak disleksia kerap tak paham apa maksud dari bacaan yang ia dibaca. Lama-lama, ia bisa malas membaca.
TIPS HADAPI ANAK SULIT MEMBACA & MENULIS
Menghadapi anak yang kesulitan membaca dan menulis, terkadang memang sulit dipahami orangtua. "Masak, membaca begitu saja susah?", merupakan kalimat yang kerap dipendam orangtua ketika mulai jengah mengulang mengajarkan sesuatu pada Si Kecil. Jangan menyerah! Simak tips berikut:
• Bertanya Bagian Yang Sulit. Yang perlu orangtua lakukan pertama kali adalah menanyakan bagian yang sulit, apakah pada fonem (bunyi), morfem (arti), tanda baca, huruf, atau lainnya.
• Buat Istilah Unik. Jika anak kesulitan membedakan huruf atau kata, buatlah istilah unik, untuk membantu ingatan jangka panjangnya (long term memory). Misalnya ‘b', huruf yang perutnya buncit.
• Jangan Memaksa. Sejumlah anak tak bisa mengingat bacaan secara cepat. Sebaiknya, jangan memaksanya belajar. Ikuti saja kemampuannya, dan ciptakan terus suasana belajar yang menyenangkan agar ia mau membaca dan menulis.
• Latihan Menyalin dan Mengeja. Ulangi terus latihan menyalin, baik dengan cara didikte atau menyalin dari papan tulis dan tesk di lembar lain. Ajak pula anak mengeja agar ia semakin hafal urutan huruf yang membentuk kata.
• Lakukan Tes
Jika semua upaya sudah dilakukan, jangan segan memberinya tes untuk menguji sejauh mana ia mendapatkan pelajarannya.

Jumat, 09 April 2010
GANGGUAN BELAJAR : DISLEKSIA
DISLEKSIA : ISU-ISU & IMPLIKASINYA BAGI BIMBINGAN DAN KONSELING
Pengertian Disleksia
Kata disleksia diambil dari bahasa Yunani, dys yang berarti “sulit dalam …” dan lex (berasal dari legein, yang artinya berbicara). Jadi disleksia merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada anak tersebut dalam melakukan aktifitas membaca dan menulis. Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti karena ada masalah dengan penglihatan, tapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu (Ira Meida, 2007). Sumber: www.halalguide.info/content/view/720/70/
Menulis pada Anak Disleksia
Ketika belajar menulis, anak-anak disleksia melakukan hal-hal berikut.
1. menuliskan huruf-huruf dengan urutan yang salah dalam sebuah kata;
2. tidak menuliskan sejumlah huruf-huruf dalam kata-kata yang ingin ia tulis;
3. menambahkan huruf-huruf pada kata yang ingin ia tulis;
4. mengganti satu huruf dengan huruf lainnya, sekalipun bunyi huruf-huruf tersebut tidak sama;
5. menuliskan sederetan huruf yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan bunyi kata-kata yang ingin ia tuliskan;
6. mengabaikan tanda-tanda baca yang terdapat dalam teks-teks yang sedang ia baca.

Hasil-Hasil Riset
1. Rutter dan rekan telah menganalisis lebih dari 10.000 anak-anak di Selandia Baru yang diikutkan dalam uji membaca standar. Usia anak-anak itu berkisar antara 7-15 tahun. Disleksia ditemukan pada 18 hingga 22 persen murid lelaki. Sedangkan pada murid perempuan hanya sekitar 8-13 persen saja (Magdalena, 2003). Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2004/0716/kes1.html
2. Disleksia ditandai dengan adanya dengan kesulitan membaca pada anak maupun orang dewasa yang seharusnya menunjukkan kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih & akurat. Angka penderita disleksia pada anak usia sekolah sekitar 5 sampai 17 di dunia. Kurang lebih 80 persen gangguan belajar mengalami disleksia (Rini Sekartini, 2007). Sumber: http://www.halalguide.info/content/view/720/70/
3. Pada pemeriksaan terhadap anak-anak Jerman dengan kesulitan membaca dan menulis serius, tim ilmuwan menemukan gen tertentu, yang diperkirakan berkontribusi terhadap masalah yang dihadapi anak-anak tersebut. Bagairnana gen tersebut berkontribusi? Hasilnya, belum jelas.
Diperkirakan gen tersebut mempengaruhi migrasi sel saraf di otak. Hasil temuan itu akan dipublikasikan dalam American Journal of Human Genetics edisi Januari 2006. Gen tersebut diindikasikan ilmuwan dari Amerika Serikat dan Inggris terletak di daerah koromosom 6. Tetapi kelompok peneliti Jerman dan Swedia telah mengidentiflkasikan suatu gen tunggal di daerah tersebut, yang ditemukan di antara anak-anak Jerman, yang merupakan faktor penting penyebab disleksia. Gen tunggal tersebut, menurut tim, dikenal sebagai gen DCDC2. Perubahan dalam gen DCDC2 sering kali diternukan di antara penderita disleksia. Perubahan gen kebanyakan ditemukan pada anak-anak yang memiliki masalah membaca dan menulis. Gen tersebut nampak memicu hubungan kuat dengan proses informasi berbicara saat menulis (Irfan Arief, 2007). Sumber: Sumber: http://www.pjnhk.go.id/content/view/370/32/
4. Ferrei & Winwright (1984; Le Fanu, 2006) berpendapat bahwa permasalahan gangguan dalam belajar disebabkan oleh adanya ketidakcocokkan antara sphenoid dan tulang rawan pada otak. Ketidakcocokkan ini diduga berpengaruh terhadap cara kerja syaraf-syaraf yang mempengaruhi kerja otot-otot mata. Tetapi ternyata mereka tidak berhasil menemukan perbedaan apapun.
5. Pada tahun 1980 Irlen (Le Fanu, 2006) menemukan bahwa orang-orang disleksia mengalami gangguan serius pada indera penglihatan yang menyebabkan matanya mengalami kesulitan ketika harus menyesuaikan cahaya dari sumber-sumber tertentu, dengan tingkat kekontrasan tertentu. Kemampuan untuk menyesuaikan variasi-variasi cahaya disebut sebagai scotopic adaptation. Tetapi, hipotesisi Irlen ini tidak mempunyai memiliki basis riset yang kuat dan terpercaya.
6. Alfred Tomatis & Guy Berard (Le Fanu, 2006) mencoba mengungkap riset melalui auditory processing problems atau membedakan antara bagian-bagian kalimat yang terucap dengan suara-suara lain yang menjadi latar belakang dari dialog ketika kalimat-kalimat tersebut diucapkan. Hasilnya, tidak ada teori yang mendukung maupun yang menolaknya.
7. Jean Ayres (1972; Le Fanu, 2006) menegaskan bahwa disleksia disebabkan oleh adanya gangguan pada system vestibular. Vestibular merupakan bagian dalam telinga menjadi alat detektor posisi kepala terhadap gravitasi bumi dan menstransmisikan informasi ini ke dalam otak. Kemudian vestibular ini dikaitkan dengan indera penglihatan dan menyatakan bahwa gangguan dalam membaca disebabkan oleh lemahnya ‘integrasi sensorik’.
8. Palatajko (1985; Le Fanu, 2006) membuktikan bahwa gangguan dalam membaca dan gangguan vestibular merupakan dua keadaan yang terpisah dan tidak memiliki keterkaitan satu sama lain.
9. Sedangkan Levinson (Le Fanu, 2006) menegaskan adanya korelasi antara fungsi vestibular, cerebellum dan disleksia. Kemudian peneliti lain mengkritik tajam karena penelitian yang ia lakukan tidaklah memadai dan terlalu bias.
10. Glenn Doman (1960; Le Fanu 2006) berpendapat bahwa gangguan-gangguan dalam belajar terjadi karena seorang anak dalam perkembangan fungsi gerak pada organ tubuhnya tidak berada dalam urutan yang normal. Gangguan yang berkaitan dengan hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan otak dan sistem saraf dan selanjutnya menyebabkan gangguan dalam membaca. Tidak ada riset lain yang menunjang teori ini bahkan mendapat kritikan tajam dalam jurnal-jurnal kesehatan.
11. Tidak satu pun teori-teori alternatif yang berusaha menjelaskan penyebab disleksia ini didukung oleh bukti-bukti ilmiah, tetapi teori-teori ini tetap beredar dengan bebas (Le Fanu, 2006:75).
Faktor Penyebab
Faktor penyebab disleksia disinyalir melalui:
1. Faktor keturunan
2. Memiliki masalah pendengaran sejak usia dini
3. Faktor kombinasi kedua faktor di atas
Ada dua faktor lingkungan lingkungan yang telah dikaji pengaruhnya terhadap gangguan belajar pada anak, yaitu timbal dan cahaya udara. Bagaimana dengan lingkungan sekolah? Para peneliti telah mempelajari tiga faktor secara khusus, yaitu: ruangan kelas yang terbuka, pencahayaan dan kualitas udara. Sekalipun demikian, sampai saat ini belum ada riset yang memiliki bukti kuat yang membenarkan faktor pencahayaan atau pemasangan generator ion di dalam kelas benar-benar bisa mempengaruhi prestasi belajar siswa (Le Fanu, 2006).
Sebuah Pengalaman Mengintervensi Penderita Disleksia
Dalam prakteknya, Le Fanu (2006: 93-95) melakukan serangkaian tahapan sebagai berikut.
1. mengumpulkan data mengenai intelegensi dan kepribadian;
2. mengelaborasi lebih jauh pertanyaan-pertanyaan seputar kemungkinan bahwa anak pernah mengalami keterlambatan-keterlambatan perkembangan ketika masih kanak-kanak yang mana hal ini akan berpengaruh terhadap prestasi sekolah sang anak;
3. menguji kemampuan membaca anak untuk mengetahui pada tingkat berapa sebenarnya ia berada;
4. memberikan tes matematika tertulis. Jika permasalahannya pada membaca soal, tidak terhadap materi dan isi soal matematika itu, berarti ia mengalami gangguan dalam membaca;
5. melihat catatan dan laporan dari pihak sekolah. Ketika setiap mata pelajaran yang melibatkan kemampuan membaca secara individu, bukan lagi membaca dalam sebuah kelompok atau lainnya, penderita disleksia mulai mengalami kesulitan menyelesaikan pekerjaannya;
6. menemukan kemungkinan riwayat keluarga si anak. Bisa jadi ada kaitannya dengan faktor keturunan;
7. mengetahui lebih jauh mengenai kapasitas anak dalam memberikan perhatian kepada aktivitas-aktivitas yang ia senangi, seperti hobi seni, kerajinan tangan, dan game.
Pemberian Bantuan
Cara yang paling sederhana dan efektif untuk membantu anak-anak yang mengalami gangguan disleksia adalah dengan memberikan pelajaran membaca dengan menggunakan metode phonic. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gittelman & Feingold (1983; Le Fanu, 2006). Gittelman & Feingold memberikan kesimpulan sebagai berikut.
1. Intervensi terhadap pelajaran membaca dalam bentuk phonic benar-benar terbukti membantu anak-anak yang memiliki masalah dengan membaca.
2. Empat bulan bukanlah waktu yang terlalu panjang untuk menangani permasalahan membaca yang mereka kerjakan secara tuntas.
3. Kemajuan terjadi pada akhir perlakuan.
4. Tes-tes yang dimaksudkan untuk mengetahui jenis-jenis tertentu dari permasalahan membaca tidaklah diperlukan.
Cara yang Dilakukan oleh Orang Tua
Orang tua dapat melakukan program phonic di rumah dengan cara-cara sebagai berikut.
1. cobalah membuat jadwal harian untuk membiasakannya membaca.
2. istirahatlah barang sejenak apabila anak Anda terlihat kelelahan, lapar atau mulai jenuh.
3. jangan memberikan pelajaran terlalu lama dan banyak ketika baru pertama kali melakukannya.
4. buatlah target-target yang ingin dicapai.
5. beri reward & punishment pada anak setiap melakukan kemajuan dan kesalahan.
6. buat kesan pada kata-kata yang ada dalam cerita ketika dibacakan, anak tidak berarti harus mengulang kata.
7. mulailah dengan membaca beberapa halaman atau paragraf pertama dari sebuah cerita dengan suara keras agar anak Anda terpancing untuk menyimak.
8. buatlah aktivitas-aktivitas yang variatif dengan memberikan beberapa sesi untuk mengerjakan permainan-permainan huruf di samping aktivitas membaca.
9. jadikan sesi ini sebagai pengganti sesi membaca denga suara keras di hadapan anak Anda.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, pendekatan yang paling baik adalah dengan menggunakan guru kelas regular untuk anak-anak tersebut. Namun, apabila masih kesulitan, guru tersebut bisa dibantu oleh seorang spesialis, yang akan memberikan pelajaran membaca berikut penjelasan phonic.
Intervensi Ahli (Konselor & Psikolog)
Konselor atau psikolog bisa memberikan terapi apabuila anak penderita disleksia mengalami hal-hal berikut ini.
1. Stress karena takut belajar membaca.
2. permasalahan membaca pada anak tersebut memancing terjadinya konflik dalam sebuah keluarga, atau apabila sang anak merasa terisolir dari lingkungan pergaulannya dikarenakan permasalahan membaca yang mereka alami

DISLEKSIA
Faktor-faktor yang mempengaruhi:

Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi, bahwa 80% dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga yang kidal. Tim peneliti Jerman dan Swedia menernukan gen DCDC2 di daerah koromosom 6. Diduga, faktor penting penyebab disleksia, karena mempengaruhi migrasi sel saraf pada otak Selama beberapa tahun, psikolog anak dan remaja di Universitas Marburg dan Wurzburg mencari keluarga dengan keluarga (setidaknya satu orang anak) yang mengalami disleksia. "Kemudian kami menganalisa sampel darah yang diambil dari keluarga-keluarga tersebut untuk mengidentifikasikan gen kandidat, dan kami menemukannya," kata Dr. Gerd Schulte Korne, yang mengepalai penelitian ini.
Gen tersebut diindikasikan ilmuwan dari Amerika Serikat dan Inggris terletak di daerah koromosom 6. Tetapi kelompok peneliti Jerman dan Swedia telah mengidentiflkasikan suatu gen tunggal di daerah tersebut, yang ditemukan di antara anak-anak Jerman, yang merupakan faktor penting penyebab disleksia. Gen tunggal tersebut, menurut tim, dikenal sebagai gen DCDC2. "Nampaknya gen ini mempengaruhi migrasi sel saraf pada otak yang sedang berkembang," ujar Profesor Dr. Markus Nothen dari the Life and Brain Centre, Universitas Bonn, Prof, NSthen dan tim bertanggung jawab atas penelitian molekuler dalam proyek ini. Perubahan dalam gen DCDC2 sering kali ditemukan di antara penderita disleksia. Perubahan gen kebanyakan ditemukan pada anak-anak yang memiliki masalah membaca dan menulis. Gen tersebut nampak memicu hubungan kuat dengan proses informasi berbicara saat menulis.
Problem pendengaran sejak usia dini, Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah diperlukan.Apabila dalam 5 tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter ahli.
Faktor kombinasi
Faktor kombinasi ini mnyebabkan kondisi anak dengan gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut dewasa.
Macam-macam disleksia
Menurut Yulia Ekawati Tasbita, S.Psi:
a.Disleksia Murni,
yang meliputi:
1) Disleksia visual, Disebabkan oleh gangguan memori visual (penglihatan yang berat). Anak dengan gangguan ini ditandai dengan sama sekali tidak dapat membaca huruf atau hanya dapat membaca huruf demi huruf saja. Membaca atau menulis huruf yang mirip bentuknya sering terbalik, mis : b dengan p, p dengan q.
2) Disleksia auditorik, Disebabkan gangguan pada lintasan visual (pengelihatan) - auditorik (pendengaran), dalam hal ini bentuk-bentuk tulisan secara visual tidak mampu membangkitkan imajinasi bunyi atau pengucapan kata-kata apapun atau sebaliknya dimana bunyi kata tidak mampu membangkitkan bayangan huruf/kata tertulis.
b.Disleksia Tidak Murni
Sebagai akibat dari gangguan aspek bahasa (difasia). Disleksia tipe tersebut dinamakan disleksia verbal, yang ditandai dengan terganggunya kemampuan membaca secara cepat dan benar, serta kurangnya pemahaman arti yang telah dibacanya, sehingga tampak disamping kurang lancar dalam membaca, banyak tanda baca yang diabaikan begitu saja, hal ini juga sebagai isyarat bahwa sebenarnya dia kurang memahami apa yang tengah dibacanya.
Menurut dr.Endang.w.Ghozali:
a. Disleksia Primer, ada kesukaran membaca terutama dalam mngintegrasikan simbol-simbol huruf atau kata-kata, disebabkan kelainan biologis, 10 persen dari anak berintelegensi normal menderita disleksia primer, perbandingan anak laki-laki dan perempuan adalah 5:1?
b. Disleksia Sekunder, kemampuan membaca terganggu karena dipengaruhi oleh kecemasan, depresi, menolak membaca, kurang motivasi belajar, gangguan penyesuaian diri atau gangguan kepribadian. Dasar teknik membaca masih baik, tetapi kemampuan membaca tersebut digunakan secara kurang efektif karena dipengaruhi faktor emosi.
Analisis kasus
Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa anak tersebut diduga menderita kesukaran belajar dalam bahasa tertulis (menulis dan membaca) yang disebut disleksia. Disleksia yaitu kesukaran belajar atau suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu,arah,dan masa. Hal tersebut dapat dilihat ketika anak tersebut disuruh membaca huruf dan angka sang anak mengalami kesulitan.Pada dasarnya ada berbagai variasi tipe disleksia. Penemuan para ahli memperlihatkan bahwa perbedaan variasi itu begitu nyata, hingga tidak ada satu pola baku atau kriteria yang betul-betul cocok semuanya terhadap ciri-ciri seorang anak disleksia. "Misalnya, ada anak disleksia yang bermasalah dengan kemampuan mengingat jangka pendeknya, sebaliknya ada pula yang ingatannya justru baik sekali. Lalu, ada yang punya kemampuan matematis yang baik, tapi ada pula yang parah. Untuk itulah bantuan ahli (psikolog) sangat diperlukan untuk menemukan pemecahan yang tepat," anjur Rini. Sebagai gambaran, para ahli akan membantu mereka dengan menggunakan berbagai metode berikut:

* Metode multi-sensory
Dengan metode yang terintegrasi, anak akan diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara pendengaran, penglihatan dan sentuhan sehingga mempermudah otak bekerja mengingat kembali huruf-huruf.
* Membangun rasa percaya diri
Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami atau diketahui lingkungannya,
termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya, mereka cenderung dianggap bodoh dan lamban dalam belajar karena tidak bisa membaca dan menulis dengan benar seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena itu mereka sering dilecehkan, diejek atau pun mendapatkan perlakuan negatif, sementara kesulitan itu bukan disebabkan kemalasan.
Alangkah baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap kesulitan anak. Dari situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu faktor penghambat proses belajarnya. Setelah ditemukan, tentu bisa diputuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai dari proses pengenalan dan pemahaman fonem sederhana, hingga permainan kata dan kalimat dalam buku-buku cerita sederhana. Penguasaan anak terhadap bahan-bahan tersebut, dalam proses yang bertahap, dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa amannya. Jadi, berkat usaha dan ketekunan mereka, para penyandang disleksia ini dapat juga menguasai kemampuan membaca dan menulis.
Orang tua dan guru serta pendamping lainnya mungkin melihat dan menemukan adanya kelebihan dari anak-anak seperti ini. Menurut penelitian, mereka cenderung mempunyai kelebihan dalam hal koordinasi fisik, kreativitas, dan berempati pada orang lain. Untuk membangun rasa percaya dirinya, ajaklah mereka mengevaluasi dan memahami diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara objektif dan tidak hanya terfokus pada kekurangannya sebagai anak dengan gangguan disleksia.
Anak-anak tersebut perlu diajak mencari dan mencatat semua kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian dibahas bersama satu demi satu. Misalnya, anak melihat bahwa dirinya bukan orang yang mampu menulis dan mengarang dengan baik, tapi di lain pihak ia adalah seorang pemain basket yang handal dan sekaligus perenang yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa mengeja dengan benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang suka padanya.
Intinya, bantulah mereka menemukan keunggulan diri, agar bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan yang saat ini sedang diatasi. Kalau perlu, jelaskan pada mereka figur-figur orang terkenal yang mampu mengatasi problem disleksianya dan melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat.
KESIMPULAN
Anak berkesulitan belajar (LD) adalah individu yang mengalami gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis dasar, disfungsi sistem syarat pusat, atau gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam kegagalan-kegagalan yang nyata dalam pemahaman dan penggunaan pendengaran, berbicara, membaca, mengeja, berpikir, menulis, berhitung, atau keterampilan sosial. Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi, tetapi dapat muncul secara bersamaan. Disleksia yaitu kesukaran belajar atau suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu,arah,dan masa. Hal tersebut dapat dilihat ketika anak tersebut disuruh membaca huruf dan angka sang anak mengalami kesulitan.

DISLEKSIA PADA ANAK

Disleksia ditandai dengan adanya kesulitan membaca pada anak maupun dewasa yang
seharusnya menunjukkan kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih dan akurat.
Disleksia merupakan salah satu masalah tersering yang terjadi pada anak dan dewasa. angka
kejadian di dunia berkisar 5-17% pada anak usia sekolah. Disleksia adalah gangguan yang
paling sering terjadi pada masalah belajar. Kurang lebih 80% penderita gangguan belajar
mengalami disleksia.
Angka kejadian disleksia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu
berkisar 2:1 sampai 5:1. Ada juga yang mengatakan bahwa ternyata tidak terdapat perbedaan
angka kejadian antara laki-laki dan perempuan.

Deteksi dini disleksia pada anak

Kesulitan membaca yang tidak diharapkan (kesulitan membaca pada seseorang yang tidak
sesuai dengan kemampuan kognitif orang tersebut atau tidak sesuai dengan usia, tingkat
kepandaian dan tingkat pendidikan), selain itu terdapat masalah yang berhubungan dengan
proses fonologik.
Pada anak usia prasekolah, adanya riwayat keterlambatan berbahasa atau tidak tampaknya
bunyi dari suatu kata (kesulitan bermain kata-kata yang berirama, kebingungan dalam
menghadapi kata-kata yang mirip, kesulitan belajar mengenal huruf) disertai dengan adanya
riwayat keluarga yang menderita disleksia, menunjukkan faktor risiko yang bermakna untuk
menderita disleksia.
Pada anak usia sekolah biasanya keluhan berupa kurangnya tampilan di sekolah tetapi sering
orangtua dan guru tidak menyadari bahwa anak tersebut mengalami kesulitan membaca.
Biasanya anak akan terlihat terlambat berbicara, tidak belajar huruf di taman kanak-kanak dan
tidak belajar membaca pada sekolah dasar. Anak tersebut akan makin tertinggal dalam hal
pelajaran sedangkan guru dan orangtua biasanya makin heran mengapa anak dengan tingkat
kepandaian yang baik mengalami kesulitan membaca.
Walaupun anak telah diajarkan secara khusus, biasanya anak tersebut akan dapat membaca
tetapi lebih lambat. Anak tidak akan fasih membaca dan tidak dapat mengenali huruf secara
tepat. Disgrafia biasanya menyertai disleksia. Selain itu penderita disleksia akan mengalami
gangguan kepercayaan diri.

Penilaian membaca

Membaca dinilai berdasarkan analisis, kefasihan dan pemahaman. Tes yang dapat digunakan
untuk menilai fonologi anak adalah Comprehensive Test of Phonological (CTOPP). Tes ini
mencakup kepekaan fonologik, analisa fonologik dan menghapal. Tes ini telah distandarisasi di

Disleksia Pada Anak
Amerika Serikat untuk anak usia 5 tahun sampai dewasa.
Pada anak usia sekolah salah satu tes yang penting adalah menilai apakah anak tersebut dapat
menganalisis kata. Tes yang digunakan adalah Woodcock-Johnson III dan Woodcock Reading
Mastery Test. Kefasihan berbicara dinilai dengan Gary Oral Reading Test. Untuk menilai
kecepatan membaca suatu kata digunakan Test of World Reading Efficiency (TOWRE).
Sebagai uji tapis bagi para dokter, disarankan untuk mendengarkan dengan seksama saat anak
membaca yang sesuai dengan usianya.

Pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan fisis memiliki peran yang sangat terbatas dalam mendiagnosis disleksia.
Gangguan sensori primer harus disingkirkan. Pemeriksaan neurologik pada penderita disleksia
biasanya normal.
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologis, elektroensefalografi dan analisis
kromosom hanya dilakukan jika terdapat indikasi klinis. Pada kasus tertentu, pemeriksaan
genetik harus dilakukan jika terdapat indikasi klinis. Pada kasus tertentu, pemeriksaan genetik
harus dilakukan mengingat terdapat kelainan genetik seperti sindrom Klinefelter yang
berhubungan dengan kesulitan bahasa dan mambaca

SULIT MEMBACA BISA JADI DISLEKSIA
Ketidakmampuan membaca pada anak sering digeneralisir sebagai kelemahan intelegensi. Padahal, bisa jadi ia mengalami disleksia.
Disleksia atau gangguan berupa kesulitan membaca, menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Hermawan Consulting, pada dasarnya disebabkan kelainan neurologis. Gejalanya, kemampuan membaca si anak berada di bawah kemampuan yang semestinya dengan mempertimbangkan tingkat intelegensi, usia dan pendidikannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh John Bradford (pendiri Direct Learning, sebuah lembaga pengembangan program untuk Learning Disabilities di Amerika), disleksia lebih banyak diderita pria daripada wanita.
Rini melanjutkan, "Gangguan ini bukanlah bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti kesulitan visual. Ia lebih mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut."
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
Meski belum ada yang dapat memastikan penyebab disleksia ini, penelitian-penelitian menyimpulkan adanya 3 faktor penyebab, yaitu;
* Faktor keturunan
Disleksia cenderung terdapat pada keluarga yang mempunyai anggota kidal. Orang tua yang disleksia tidak secara otomatis menurunkan gangguan ini kepada anak-anaknya, atau anak kidal pasti disleksia. Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi, bahwa 80 persen dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga yang kidal.
* Problem pendengaran sejak usia dini
Apabila dalam 5 tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter ahli.
Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah diperlukan.
* Faktor kombinasi
Ada pula kasus disleksia yang disebabkan kombinasi dari 2 faktor di atas, yaitu problem pendengaran sejak kecil dan faktor keturunan. Faktor kombinasi ini menyebabkan kondisi anak dengan gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut dewasa.
Dengan perkembangan teknologi CT Scan, bisa dilihat bahwa perkembangan sel-sel otak penderita disleksia berbeda dari mereka yang nondisleksia. Perbedaan ini mempengaruhi perkembangan fungsi-fungsi tertentu pada otak mereka, terutama otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.
Selain itu, terjadi perkembangan yang tidak proporsional pada sistem magno-cellular di otak penderita disleksia. Sistem ini berhubungan dengan kemampuan melihat benda bergerak. Akibatnya, objek yang mereka lihat tampak berukuran lebih kecil. Kondisi ini menyebabkan proses membaca jadi lebih sulit karena saat itu otak harus mengenali secara cepat huruf-huruf dan sejumlah kata berbeda yang terlihat secara bersamaan oleh mata.
CARA MENGATASI
Pada dasarnya ada berbagai variasi tipe disleksia. Penemuan para ahli memperlihatkan bahwa perbedaan variasi itu begitu nyata, hingga tidak ada satu pola baku atau kriteria yang betul-betul cocok semuanya terhadap ciri-ciri seorang anak disleksia. "Misalnya, ada anak disleksia yang bermasalah dengan kemampuan mengingat jangka pendeknya, sebaliknya ada pula yang ingatannya justru baik sekali. Lalu, ada yang punya kemampuan matematis yang baik, tapi ada pula yang parah. Untuk itulah bantuan ahli (psikolog) sangat diperlukan untuk menemukan pemecahan yang tepat," anjur Rini.
Sebagai gambaran, para ahli akan membantu mereka dengan menggunakan berbagai metode berikut:
* Metode multi-sensory
Dengan metode yang terintegrasi, anak akan diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara pendengaran, penglihatan dan sentuhan sehingga mempermudah otak bekerja mengingat kembali huruf-huruf.
* Membangun rasa percaya diri
Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami atau diketahui lingkungannya,
termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya, mereka cenderung dianggap bodoh dan lamban dalam belajar karena tidak bisa membaca dan menulis dengan benar seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena itu mereka sering dilecehkan, diejek atau pun mendapatkan perlakuan negatif, sementara kesulitan itu bukan disebabkan kemalasan.
Alangkah baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap kesulitan anak. Dari situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu faktor penghambat proses belajarnya. Setelah ditemukan, tentu bisa diputuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai dari proses pengenalan dan pemahaman fonem sederhana, hingga permainan kata dan kalimat dalam buku-buku cerita sederhana. Penguasaan anak terhadap bahan-bahan tersebut, dalam proses yang bertahap, dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa amannya. Jadi, berkat usaha dan ketekunan mereka, para penyandang disleksia ini dapat juga menguasai kemampuan membaca dan menulis.
Orang tua dan guru serta pendamping lainnya mungkin melihat dan menemukan adanya kelebihan dari anak-anak seperti ini. Menurut penelitian, mereka cenderung mempunyai kelebihan dalam hal koordinasi fisik, kreativitas, dan berempati pada orang lain. Untuk membangun rasa percaya dirinya, ajaklah mereka mengevaluasi dan memahami diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara objektif dan tidak hanya terfokus pada kekurangannya sebagai anak dengan gangguan disleksia.
Anak-anak tersebut perlu diajak mencari dan mencatat semua kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian dibahas bersama satu demi satu. Misalnya, anak melihat bahwa dirinya bukan orang yang mampu menulis dan mengarang dengan baik, tapi di lain pihak ia adalah seorang pemain basket yang handal dan sekaligus perenang yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa mengeja dengan benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang suka padanya.
Intinya, bantulah mereka menemukan keunggulan diri, agar bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan yang saat ini sedang diatasi. Kalau perlu, jelaskan pada mereka figur-figur orang terkenal yang mampu mengatasi problem disleksianya dan melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat.

Aneka Keterlambatan Yang Mengarah Ke Disleksia
Menurut Rini, peristiwa pada anak yang dapat memperkuat dugaan disleksia ini adalah:
1. Lambat bicara jika dibandingkan kebanyakan anak seusianya.
2. Lambat mengenali alfabet, angka, hari, minggu, bulan, warna, bentuk dan informasi mendasar lainnya.
3. Sulit menuliskan huruf ke dalam kesatuan kata secara benar.
4. Menunjukkan keterlambatan ataupun hambatan lain dalam proses perkembangannya.
5. Ada anggota keluarga yang juga mengalami masalah serupa, atau hampir sama.
6. Perhatian mudah teralihkan dan sulit berkonsentrasi.
7. Mengalami hambatan pendengaran.
8. Rancu dalam memahami konsep kiri¬kanan, atas-bawah, utara-selatan, timur-barat.

9. Memegang alat tulis terlalu kuat/keras
9. Rancu atau bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +, -, x, :, dan sebagainya.
10. Mengalami kesulitan dalam mengatakan waktu.
11. Sulit mengikat tali sepatu.
12. Sulit menyalin tulisan yang sudah dicontohkan kepadanya.
13. Mempunyai masalah dengan kemampuan mengingat jangka pendek berkaitan dengan kata-kata maupun instruksi tertulis.
14. Sulit mengikuti lebih dari sebuah instruksi dalam satu waktu yang sama.
15. Tidak dapat menggunakan kamus atau pun buku petunjuk telepon.

Ciri-Ciri Anak Disleksia
"Gangguan disleksia biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu," ujar Rini. Sebelumnya, di TK, kemampuan membaca anak tidak menjadi tuntutan, itulah mengapa gejalanya sulit diketahui sejak usia dini. Inilah ciri-cirinya:
1. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
2. Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misalnya kata "saya" urutan hurufnya adalah s ¬ a ¬ y ¬ a.
3. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata.
4. Sulit mengeja secara benar. Bahkan bisa jadi anak tersebut akan mengeja satu kata dengan bermacam ucapan. Walaupun kata tersebut berada di halaman buku yang sama.
5. Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Bisa terjadi anak dengan gangguan ini akan terbalik-balik membunyikan huruf, atau suku kata. Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk, seperti d - b, u - n, m - n. Ia juga rancu membedakan huruf/fonem yang memiliki kemiripan bunyi, seperti v, f, th.
6. Membaca suatu kata dengan benar di satu halaman, tapi keliru di halaman lainnya.
7. Bermasalah ketika harus memahami apa yang dibaca. Ia mungkin bisa membaca dengan benar, tapi tidak mengerti apa yang dibacanya.
8. Sering terbalik-balik dalam menuliskan atau mengucapkan kata, misalnya "hal" menjadi "lah" atau "Kucing duduk di atas kursi" menjadi "Kursi duduk di atas kucing."
9. Rancu terhadap kata-kata yang singkat. Misalnya, ke, dari, dan, jadi.
10. Bingung menentukan harus menggunakan tangan yang mana untuk menulis.
11. Lupa mencantumkan huruf besar atau mencantumkannya pada tempat yang salah.
12. Lupa meletakkan titik dan tanda-tanda seperti koma, tanda seru, tanda tanya, dan tanda baca lainnya.
13. Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang baik.
14. Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Anak dengan gangguan ini biasanya menulis dengan tidak stabil, tulisannya kadang naik dan kadang turun.
15. Menempatkan paragraf secara keliru.


Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai dengan hambatan-hambatan tertentu, dalam mencapai tujuan belajar. Kondisi ini ditandai kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh problem-problem neurologis, maupun sebab-sebab psikologis lain, sehingga prestasi belajarnya rendah, tidak sesuai dengan potensi dan usaha yang dilakukan.
Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis manifiestasi tingkah laku (bio-psikososial) baik secara langsung atau tidak, bersifat permanen dan berpotensi menghambat berbagai tahap belajar siswa.
Tidak seperti cacat lainnya, sebagaimanan kelumpuhan atau kebutuaan gangguan belajar (learning disorder) adalah kekurangan yang tidak tampak secara lahiriah. Ketidakmampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang berbeda dengan orang normal lainnya. Kesulitan belajar adalah keterbelakangan yang mempengaruhi kemampuan individu untuk menafsirkan apa yang mereka lihat dan dengar. Kesulitan belaja juga merupakan ketidakmampuan dalam menghubungkan berbagai informasi yang berasal dari berbagai bagian otak mereka. Kelemahan ini akan tampak dalam beberapa hal, seperti kesulitan dalam berbicara dan menuliskan sesuatu, koordinasi, pengendalian diri atau perhatian. Kesulitan-kesulitan ini akan tampak ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan sekolah, dan menghambat proses belajar membaca, menulis, atau berhitung yang seharusnya mereka lakukan.
Kesulitan belajar dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Bebarapa kasus memperlihatkan bahwa kesulitan ini memengaruhi banyak bagian dalam kehidupan individu, baik itu di sekolah, pekerjaan, rutinitas sehari-hari, kehidupan keluarga, atau bahkan terkadang dalam hubungan persahabatan dan bermain. Beberapa penderita menyatakan bahwa kesulitan ini berpengaruh pada kebahagiaan mereka. Sementara itu, penderita lainnya menyatakan bahwa gangguan ini mengahambat proses belajar mereka, sehingga tentu saja pada gilirannya juga akan berdampak pada aspek lain dari kehidupan mereka.
Dari sejumlah pendapat di atas, kesulitan belajar mempunyai pengertian yang luas dan terjabarkan dalam istilah-istilah, seperti:
a) Learning Disorder (ketergantungan belajar), adalah keadaan di mana proses belajar siswa terganggu, karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya siswa, yang mengalami gangguan belajar seperti ini, prestasi belajarnya tidak terganggu, akan tetapi proses belajarnya yang terlambat, oleh adanya respon-respon yang bertentangan. Dengan demikian, hasil belajar yang dicapai akan lebih rendah dari potensi yang dimiliki.
b) Learning Disabelities (ketidakmampuan belajar), adalah ketidakmampuan seorang siswa, yang mengacu kepada gejala di mana siswa tidak mampu belajar (menghindari belajar), sehingga hasil belajarnya di bawah potensi intelektualnya.
c) Learning Disfunction (ketidak_fungsian belajar), adalah gejala di mana proses belajar tidak berfungsi dengan baik, meskipun pada dasarnya tidak ada tanda-tanda subnormalitas mental, gangguan alat dria atau gangguan-gangguan psikologis yang lainnya.
d) Under Achiever (pencapaian randah), yang mengacu kepada anak-anak atau siswa yang memiliki tingkat potensi intelektual di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Terbukti, pada hasil belajar (sekolah) yang buruk.
e) Slow Learner (lambat belajar), adalah siswa yang lambat dalam proses balajarnya, sehingga membutuhkan waktu lebih lama, dibandingkan dengan anak-anak yang lain memilih taraf potensial intelektual yang sama.
 Strata Jenis Kesulitan Belajar
Mengenali kesulitan belajar jelas berbeda dengan mendiagnosis penyakit cacar air atau campak. Cacat air dan campak tergolong penyakit dengan gejala yang dapat dikenali dengan mudah. Berbeda dengan kesulitan belajar (learning disorder) yang sangat rumit dan meliputi begitu banyak kemungkinan penyebab, gejala-gejala, perawatan, serta penanganan. Kesulitan belajar yang memiliki beragam gejala ini, sangatlah sulit untuk didiagnosis dan dicari penyebab secara pasti. Hingga saat ini belum ditemukan obat atau perawatan yang sanggup menyembuhkan mereka sepenuhnya.
Faktor hereditas (genetik) dan lingkungan (environmental) siswa, sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajarnya. Artinya, potensi intelligensi, bakat, minat, motivasi, kurikulum, kualitas dan model pembelajaran guru, turut memberikan andil bagi keberhasilan anak didiknya di sekolah.

 Macam-macam Kesulitan Belajar Siswa
Tidak semua kesulitan dalam proses belajar dapat disebut learning disorder. Sebagian anak atau siswa mungkin hanya mengalami kesulitan dalam mengembangkan bakatnya. Kadang-kadang, seseorang memperlihatkan ketidak wajaran dalam perkembangan alaminya, sehingga tampak seperti penderita berkesulitan belajar, namun ternyata hanyalah keterlambatan dalam proses pendewasaan diri saja. Sebenarnya, para ahli telah menentukan kriteria-kriteria pasti dimana seseorang dapat dinyatakan sebagai penderita kesulitan belajar.
Kriteria yang harus dipenuhi sebelum seseorang dinyatakan menderita kesulitan belajar, tertuang dalam sebuah buku petunjuk yang berjudul DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder). Diagnosis yang didasarkan pada DSM umumnya dilakukan ketika individu mengajukan perlindungan asuransi kesehatan dan layanan perawatan. Wood (2005), menyebutkan kesulitan belajar dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, diantaranya:
a. Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa
b. Permasalahan dalam hal kemampuan akademik
c. Kesulitan lainnya, yang mencakup kesulitan dalam mengordinasi gerakan anggota tubuh serta permasalahan belajar yang belum dicakup oleh kedua kategori di atas.
Masing-masing kategori itu mencakup pula kesulitan-kesulitan lainnya yang lebih spesifik, dan pada makalah ini akan dipaparkan tentang kesulitan belajar membaca (disleksia).
 Pengertian disleksia
Istilah disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni dys yang berarti sulit dalam dan lex berasal dari legein, yang artinya berbicara. Jadi secara harfiah, disleksia berarti kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Kelainan ini disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan tertulis, atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata secara tertulis.
Bryan & Bryan (dalam Abdurrahman, 1999: 204), menyebut disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatau yang berkenaan dengan waktu, arah dan masa. Sedangkan, menurut Lerner seperti di kutip oleh Mercer (1979: 200), mendefinisikan kesulitan belajar membaca sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk pada adanya gangguan fungsi otak.
Pada kenyataannya, kesulitan membaca dialami oleh 2-8% anak sekolah dasar. Sebuah kondisi, dimana ketika anak atau siswa tidak lancar atau ragu-ragu dalam membaca; membaca tanpa irama (monoton), sulit mengeja, kekeliruan mengenal kata; penghilangan, penyisipan, pembalikan, salah ucap, pengubahan tempat, dan membaca tersentak-sentak, kesulitan memahami; tema paragraf atau cerita, banyak keliru menjawab pertanyaan yang terkait dengan bacaan; serta pola membaca yang tidak wajar pada anak.
 Karakteristik disleksia
Ada empat kelompok karakteristik kesulitan belajar membaca, yaitu kebiasaan membaca, kekeliruan mengenal kata, kekeliruan pemahaman, dan gejala-gejala serba aneka, (Mercer, 1983) .
Dalam kebiasaan membaca anak yang mengalami kesulitan belajr membaca sering tampak hal-hal yang tidak wajar, sering menampakkan ketegangannya seperti mengernyitkan kening, gelisah, irama suara meninggi, atau menggigit bibir. Mereka juga merasakan perasaan yang tidak aman dalam dirinya yang ditandai dengan perilaku menolak untuk membaca, menangis, atau melawan guru. Pada saat mereka membaca sering kali kehilangan jejak sehingga sering terjadi pengulangan atau ada barisyang terlompat tidak terbaca.
Dalam kekeliruan mengenal kata ini memcakup penghilangan, penyisipan, penggantian, pembalikan, salah ucap, perubahan tempat, tidak mengenal kata, dan tersentak-sentak ketika membaca.
Kekeliruan memahami bacaan tampak pada banyaknya kekeliruan dalam menjawab pertanyaan yang terkait dengan bacaan, tidak mampu mengurutkan cerita yang dibaca, dan tidak mampu memahami tema bacaan yang telah dibaca. Gejala serb aneka tampak seperti membaca kata demi kata, membaca dengan penuh ketegangan, dan membaca dengan penekanan yang tidak tepat.
 Gejala
Gejala disleksia, anak memiliki kemampuan membaca di bawah kemampuan yang seharusnya dilihat dari tingkat inteligensia, usia dan pendidikannya. Hal ini dikarenakan keterbatasan otak mengolah dan memproses informasi tersebut. Disleksia merupakan kesalahan pada proses kognitif anak ketika menerima informasi saat membaca buku atau tulisan.
Jika pada anak normal kemampuan membaca sudah muncul sejak usia enam atau tujuh tahun, tidak demikian halnya dengan anak disleksia. Sampai usia 12 tahun kadang mereka masih belum lancar membaca. Kesulitan ini dapat terdeteksi ketika anak memasuki bangku sekolah dasar.
Ciri-ciri disleksia:
 Sulit mengeja dengan benar. Satu kata bisa berulangkali diucapkan dengan bermacam ucapan.
 Sulit mengeja kata atau suku kata yang bentuknya serupa, misal: b-d, u-n, atau m-n.
 Ketika membaca anak sering salah melanjutkan ke paragraph berikutnya atau tidak berurutan.
 Kesulitan mengurutkan huruf-huruf dalam kata.
 Kesalahan mengeja yang dilakukan terus-menerus. Misalnya kata pelajaran diucapkan menjadi perjalanan.
Banyak faktor yang menjadi penyebab disleksia antara lain genetis, problem pendengaran sejak bayi yang tidak terdeteksi sehingga mengganggu kemampuan bahasanya, dan faktor kombinasi keduanya. Namun, disleksia bukanlah kelainan yang tidak dapat disembuhkan. Hal paling penting adalah anak disleksia harus memiliki metode belajar yang sesuai. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki metode yang berbeda-beda, begitupun anak disleksia.
 Apa yang dapat dilakukan
 Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru
 Anak duduk di barisan paling depan di kelas
 Guru senantiasa mengawasi / mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50
 Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas)
 Anak disleksia yang sudah menunjukkkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup.
 Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat:g, c, o, d, a, s, q, bentuk zig zag:k, v, x, z, bentuk linear:j, t, l, u, bentuk hampir serupa:r, n, m, h.
 Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal.
 Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat perbedaan yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan self-esteem yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal ini tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali-sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.

Masalah Pembelajaran, Disleksia

Apa itu Disleksia?

• Disleksia adalah sejenis masalah pembelajaran khusus yang kerap berlaku.
• Kanak-kanak Disleksia mempunyai masalah menguasai tugasan sekolah walaupun
mereka telah berusaha bersungguh-sungguh
o Mempunyai keupayaan intelek yang normal
o Telah mendapat ransangan dan pembelajaran yang mencukupi
• Masalah asasnya adalah perbezaan cara otak berfungsi dalam menghubungkan simbol
visual dengan bunyi
• Mereka mungkin mengalami kesukaran
o Membaca
o Menulis
o Memahami
o Mengeja
o Mengira
• Dianggarkan 4 – 8 % pelajar sekolah yang bermasalah disleksia
• Kanak-kanak lelaki lebih ramai bermasalah Disleksia berbanding perempuan.

Apakah ciri-ciri Disleksia?
1. Diperingkat pra sekolah mereka mungkin :
o Lambat bertutur
o Mengalami kesukaran sebutan atau rima
o Sukar menulis nama sendiri
o Payah mengenal bentuk atau warna
o Sukar memberitahu cerita yang telah didengarinya
2. Di alam persekolahan, kanak-kanak Disleksia mungkin :
o Gagal menguasai tugasan sekolah seperti membaca, menulis, mengeja atau
mengira
o Tidak suka membaca dan mengelak dari membaca di kelas
o Kesilapan semasa membaca huruf, perkataan atau nombor (Bacaan terbalik) :
▪ 15 dengan 51
▪ “was” menjadi “saw”
▪ ‘b’ dengan ‘d’‘
o Kurang koordinasi seperti sukar mengikat tali kasut
o Keliru dengan konsep masa seperti ‘semalam’, ‘ hari ini’ , ‘esok’
o Kesukaran memahami, mengingati dan mengikuti arahan
o Selalu tersalah letak atau hilang barang atau kerja sekolah
________________________________________
Adakah individu Disleksia mempunyai keistimewaan?
• Antara orang ternama yang juga mengalami Disleksia termasuklah ahli politik (Lee
Kuan Yew), pelakon (Whoopi Goldberg), artis (Leonardo da Vinci) dan saintis
(Albert Einstein)
• Ramai yang berdaya imaginasi tinggi, amat kreatif dan mampu berfikir dari pelbagai
sudut / dimensi
• Bijak dengan kemahiran tangan atau sukan.

Masalah yang mungkin dialaminya
• Salah sangka dan digelar sebagai malas, bodoh atau lembab
• Pembentukan imej diri yang sihat terjejas dan mengalami rasa rendah diri
• Jika tidak dikenalpasti dan dibantu diperingkat awal boleh menyebabkan
o Gangguan emosi (seperti kemurungan)
o Masalah tingkahlaku (seperti melawan, kecelaruan tingkahlaku)
o Rendah pencapaian akademik (menyebabkan keciciran sekolah)

Membantu anak-anak bermasalah Disleksia
Langkah-langkah untuk membantu mereka termasuklah :
1. Bantu kanak-kanak dan keluarga mengendali permasalahan ini dan bina keyakinan
diri anak
2. Rawat penyakit lain yang mungkin berkait seperti Gejala Hiperaktif dan Kurang Daya
Tumpuan
3. Pertingkatkan potensi pembelajaran anak melalui :
o Terapi pertuturan
o Latihan pendengaran dengan bantuan komputer
o Pendekatan pelbagai deria (Menggunakan deria lain untuk membantu
pembelajaran)
1. Deria sentuhan (menggunakan lakaran atas kertas pasir)
2. Deria pendengaran (menggunakan ritma atau bunyi perkataan/ huruf)
3. Merasa pergerakan bibir
4. Menulis huruf atau perkataan
4. Langkah-langkah pemulihan :
o Bantu anak menguasai maklumat secara beransur ansur
o Pengulangan semasa mengajar (konsep ajar berlebihan)



KESULITAN BELAJAR, DISLEKSIA

Kesulitan belajar tidak selalu disebabkan oleh faktor inteligensi yang rendah (kelainan mental), akan tetapi juga disebabkan oleh faktor- faktor non- inteligensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar. Disetiap sekolah dalam berbagai jenis dan tingkatan pasti memiliki anak didik yang berkesulitan belajar. Setiap kali kesulitan belajar anak didik yang satu dapat diatasi, tetapi pada waktu yang lain muncul lagi kesulitan belajar anak didik yang lain. Warkitri dkk mengemukakan kesulitan belajar adalah suatu gejala yang nampak pada siswa yang ditandai adanya hasil belajar rendah dibanding dengan prestasi yang dicapai sebelumnya. Jadi, kesulitan belajar itu merupakan suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan- hambatan tertentu dalam mencapai hasil belajar. M. Alisuf Sabri mengemukakan bahwa kesulitan belajar adalah kesukaran siswa dalam menerima atau menyerap pelajaran disekolah, kesulitan belajar yang dihadapi oleh siswa ini terjadi pada waktu mengikuti pelajaran yang disampaikan atau ditugaskan oleh seorang Guru.
Berhubungan dengan pelajaran matematika, siswa yang mengalami kesulitan belajar antara lain disebabkan oleh hal- hal sebagai berikut:
1. Siswa tidak bisa menangkap konsep dengan benar. Siswa belum sampai keproses abstraksi dan masih dalam dunia konkret. Dia belum sampai kepemahaman yang hanya tahu contoh- contoh, tetapi tidak dapat mendeskripsikannya.
2. Siswa tidak mengerti arti lambang- lambing Siswa hanya menuliskan/ mengucapkan tanpa dapat menggunakannya. Akibatnya, semua kalimat matematika menjadi tidak berarti baginya.
3. Siswa tidak dapat memahami asal- usul suatu prinsip. Siswa tahu apa rumusnya dan menggunakannya, tetapi tidak mengetahui dimana atau dalam konteks apa prinsip itu digunakan.
4. Siswa tidak lancar menggunakan operasi dan prosedur. Ketidaksamaan menggunakan operasi dan prosedur terdahulu berpengaruh kepada pemahaman prosedur lainnya.
5. Ketidaklengkapan pengetahuan Ketidaklengkapan pengetahuan akan menghambat kemampuan siswauntuk memecahkan masalah matematika, sementara itu pelajaran terus berlanjut secara berjenjang.

DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR

Sebelum menetapkan alternatif pemecahan masalah kesultan belajar siswa,
guru sangat dianjur untuk terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya
mengenali gejala dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan
kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya
seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan menetapkan “jenis penyakit” yakni
jenis kesulitan belajar siswa.

Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas
langkah-langkah tertentu yang diorentasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai “diagnostik” kesulitan belajar.

Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru antara lain yang cukup terkenal adalah prosedur Weener dan Senf (1982) sebagaimana yang dikutip Wardani (1991) sebagai berikut:
1. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran.
2. Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa, khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar.
3. Mewawancarai orang tua/ wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar.
4. Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa.
5. Memberikan tes kemampuan inteligensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar.

Sedangkan menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono,diagnosis pun dapat berupa hal-hal sebagai berikut:
1. Keputusan mengenai jenis- jenis kesulitan belajar anak (berat dan ringannya).
2. Keputusan mengenai faktor-faktor yang ikut menjadi penyebab kesulitan belajar.
3. Keputusan mengenai faktor utama penyebab kesulitan belajar.

DISLEKSIA DAN SI BUAH HATI
Buah hati tak kunjung mampu mengucapkan sepatah kata, meski sudah berusia 2 tahun? Hati-hati, bisa jadi itu tanda awal Si Kecil mengidap disleksia alias gangguan yang menyebabkan kemampuan bahasanya terganggu.
Bagi para orangtua, berhati-hatilah ketika menghadapi Si Kecil yang kesulitan belajar membaca dan menulis. Bisa jadi buah hati Anda mengidap gangguan perkembangan kemampuan linguistik (membaca dan menulis). Dan yang kerap dikaitkan dengan gangguan ini adalah disleksia atau gangguan kemampuan membaca dan menulis, yang disebabkan adanya kelainan saraf dalam otak.
Gangguan yang bisa menyebabkan seseorang sulit mengingat dan memahami abjad-abjad ini, konon banyak diidap anak-anak yang memiliki masalah belajar di sekolah. "Sebetulnya, disleksia sudah lama ditemukan sebagai salah satu gangguan belajar atau learning dissorder. Tapi, memang tak banyak orang mengenalnya sebagai disleksia," ungkap Iwan Sintera Togi Aritonang Psi, psikolog yang juga terapis di Bimbingan Remedial Terpadu (BRT), Jakarta.
Pengertian disleksia memang kurang populer di kalangan awam, sehingga banyak orangtua tak tahu jika anaknya mengidap disleksia. Buruknya lagi, karena ketidaktahuannya, banyak orangtua memilih menyelesaikan masalah belajar anak dengan cara melobi pihak sekolah agar sang anak diberi toleransi. Dengan anggapan, sang anak akan mampu beradaptasi dan mengejar ketinggalannya, seiring berjalannya waktu.
Akibatnya, masalah disleksia anak menjadi tak pernah terpecahkan. Bahkan, jika ternyata anak tak juga mampu mengejar ketertinggalannya, justru akan berkembang menjadi masalah kepercayaan diri pada sang anak kelak. Ia akan merasa rendah diri karena terlihat bodoh dihadapan teman-temannya. Lalu, prestasi akademiknya akan merosot, hingga menimbulkan penolakan terhadap tuntutan bersekolah.
"Padahal, kecerdasan anak disleksia belum tentu di bawah rata-rata. Justru kebanyakan dari mereka memiliki kecerdasan seperti orang kebanyakan. Ini hanya masalah pemrosesan bahasa dalam otaknya, bukan masalah intelegensia," ungkap pria yang juga psikolog konseling di sekolah anak berkebutuhan khusus, International Center for Special Need in Education, Jakarta.
BERSIFAT BAWAAN
Bagi anak-anak normal lainnya, membedakan huruf ‘b' dengan ‘d', mengeja dan membaca i-b-u dengan ‘ibu', menyalin tulisan, merangkai huruf dan seterusnya, bukanlah hal yang sulit ilakukan. Namun, bagi anak disleksia, hal-hal yang seharusnya mudah dilakukan (berkaitan dengan membaca dan menulis), menjadi sulit bahkan mustahil dilakukan.
Hal ini terjadi karena pengolahan unsur bahasa, seperti pengenalan huruf, merangkai huruf, bunyi huruf, dan mengeja, gagal dilakukan oleh otaknya. Akibatnya, ia lalu tak mampu mengenali tulisan menjadi bentuk pemahaman dalam memorinya. Akhirnya, ia mengalami kesulitan membaca dan menulis.
Kegagalan pemrosesan unsur bahasa ini disebabkan adanya kerusakan di dalam syaraf yang ada di dalam otaknya. Dan kerusakan ini bersifat bawaan, yang didapat anak sejak ia dilahirkan. Dengan kata lain, telah terjadi kerusakan di otak sejak perkembangan otak mulai terbentuk, atau sejak ia masih berada dalam kandungan.
Beberapa tim peneliti dari Universitas Marburg, Wurzburg, Bonn (Jerman) dan institut dari Stockholm (Swedia) menemukan, disleksia disebabkan oleh adanya gen (DCDC2) yang memengaruhi migrasi sel saraf pada otak yang sedang berkembang. Pendekatan lain berasumsi, kerusakan atau kegagalan pembentukan komposisi otak secara sempurna ini juga bisa dipengaruhi oleh kecukupan gizi semasa ibu mengandung.
"Sementara ini, penyebab pasti disleksia sifatnya masih wacana saja. Seperti halnya pada kasus autisme. Masih merupakan faktor risiko," ungkap Iwan berdasarkan pengamatannya selama ini.
Dan oleh karena perkembangan fisiologis anak lelaki lebih dominan pada kemampuan otak kiri, lanjut Iwan, secara genetis peluang kejadian disleksia akan lebih besar terjadi pada anak lelaki. Karena, disleksia adalah produk dari terjadinya ketidaknormalan pada hemister (belahan) otak kiri, yang merupakan daerah penunjang kemampuan bahasa.
KENALI DENGAN TES
Memang, tak semua kesulitan membaca dan menulis merupakan gejala disleksia. Karena, beberapa anak yang mengalami gangguan ini bisa juga disebabkan karena ia memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, atau memang memiliki gangguan konsentrasi belajar.
Namun, beberapa tes yang berkaitan dengan kemampuan bahasa bisa saja dilakukan, untuk mempertegas dugaan anak mengidap disleksia. Beberapa tes biasa dilakukan Iwan sebelum memastikan seorang anak benar-benar menderita disleksia, antara lain tes melafalkan huruf satu per satu, dari A sampai Z. Lalu, tes menulis penggalan urutan huruf, misalnya dari G sampai Z.
Ada pula tes mengisi bagian huruf yang kosong misalnya "a, b, c, ..., e, f, ..., h". Juga tes merangkai huruf dan mengeja. Serta tes menulis kata yang didiktekan, menyalin tulisan dari papan tulis atau teks dari lembar lain, dan sejumlah tes lainnya, sesuai kompetensi anak seusianya. Untuk anak yang lebih dewasa, tes dengan menggunakan tanda baca, perlu dilakukan.
Dari beberapa tes tadi, akan diketahui apakah anak bermasalah dengan visualisasi huruf, pemrosesan abjad, atau tanda baca dalam bentuk kata atau kalimat. Sehingga, bisa diketahui apakah ia positif mengidap disleksia. Selain tes tadi, psikolog pun perlu mewawancarai dan memberi tes psikologi, untuk memastikan apakah ia juga memiliki kekurangan dalam hal intelegensia.
PERLU TERAPI
Akan tetapi, para orangtua jangan merasa berkecil hati jika buah hatinya ternyata mengidap disleksia. Konon, superstar Hollywood seperti Tom Cruise, Whoopy Goldberg, dan penemu teori relativitas Albert Einstein, adalah pengidap disleksia.
Ingat, disleksia bukanlah harga mati bagi seseorang untuk memiliki masa depan yang suram.
"Disleksia mungkin akan membuat anak sulit berprestasi secara akademis karena hambatan kemampuan baca-tulis. Tapi, dengan ingatan yang kuat mereka bisa dilatih untuk menutupi kekurangannya," ungkap Iwan.
Jadi, saran Iwan, para orangtua dengan anak disleksia, segera lakukan terapi dan konseling, yang akan memetakan permasalahan kesulitan yang dimiliki sang anak. Kemudian, terapis akan menetapkan jadwal latihan membaca dan menulis. "Biasanya, dijadwalkan 1-2 kali tatap muka per minggu, dengan durasi pengajaran 1 jam setiap pertemuan.
Dan sebaiknya, orangtua perlu ikut konseling agar proses belajarnya kontinyu dan bisa dilakukan pengajaran di rumah," ungkap Iwan.
Sebab, yang dilakukan selama terapi adalah untuk mencari solusi atas masalah sang anak. Misalnya, bagi yang sulit membedakan huruf, akan dicarikan cerita lucu untuk bisa membedakan huruf. Atau, menuliskan huruf yang sulit dibaca dalam huruf kapital, serta mengajak anak menambah perbendaharaan kata. Sehingga, pada beberapa anak disleksia yang parah atau berada di level severe, terapis akan menyarankan penggunaan tape recorder sebagai pengganti catatan.
Kendati demikian, diakui Iwan, disleksia memang tak bisa disembuhkan. Namun dengan menjalani terapi rutin, kekurangan ini bisa diminimalisasi agar ia tetap bisa ‘membaca' dan menulis layaknya orang normal. "Jika orangtua sudah tahu anaknya mengidap disleksia, segera bawa ke psikolog atau terapis remedial teaching. Semakin cepat anak diterapi, semakin mudah kekurangannya diatasi," tegas Iwan.
Apalagi, jika anak sudah beranjak dewasa, tuntutan kompetensi bahasanya akan semakin kompleks. Jika dibiarkan semakin berlarut-larut, akan membuat anak semakin sulit mengejar ketertinggalannya.
MENGENAL GEJALA DISLEKSIA
Disleksia sebetulnya bisa dikenali dari sejumlah gejala yang diperlihatkan sang anak. Sejumlah faktor yang bisa dijadikan pedoman untuk mengenalinya, antara lain:
1. LAMBAT BICARA
Normalnya, kemampuan bahasa sudah berkembang sejak anak berusia setahun. Di usia ini biasanya anak sudah mulai bisa mengucapkan satu kata seperti ‘mam'. Dan menginjak usia 2 tahun, anak biasanya sudah bisa merangkai kata, seperti ‘mama ma-em'.
Menurut Iwan, anak disleksia umunya mengalami keterlambatan bicara sejak awal perkembangan kemampuan bahasanya. "Memang tak semua anak yang lambat bicara mengidap disleksia. Tapi, jika Anda merasa sudah memberi cukup stimulus bagi kemampuan bicaranya, sebaiknya waspadai kemungkinan anak mengidap disleksia."
2. TAK BISA MENGHAFAL HURUF
Menjelang masuk usia sekolah, tak jarang orangtua mendaftarkan Si Kecil ke pre school. Di kelas ini biasanya anak sudah mendapat pelajaran menghafalkan huruf, sebagai bekal belajar membaca di sekolah formal kelak.
Pada anak disleksia, bisa terjadi kesulitan membaca-tulis huruf tertentu, misalnya menyebut ‘t' menjadi ‘j', atau ‘b' menjadi ‘d'. Bagi mereka, huruf-huruf ini sulit dibedakan karena bentuknya yang mirip.
Atau, ketika diminta menyebut huruf A-Z, ia mampu. Tetapi, ketika dipenggal untuk menyebut dari huruf G sampai Z, ia akan bingung. Bagi mereka, huruf bersifat hafalan dari bunyi yang didengarnya. Bukan sebagai ingatan akan visualisasi dari huruf.
3. TAK BISA MENGEJA
Jika Si Kecil sulit mengenali sejumlah huruf, saat masuk sekolah formal, ia akan kesulitan mengeja. Misalnya, ketika diajak mengeja d-a-da, d-u-du, lalu diminta melafalkan d-a (yang seharusnya dibaca ‘da'), ia tak mampu. Atau, kesalahan membaca terbalik, misalnya ‘gajah' menjadi ‘jagah'.
4. SALAH MENYALIN
Seringkali ketika diminta menyalin teks, anak disleksia membuat kesalahan berulang. Dan ketika ditanya di mana letak kesalahannya, ia tak mengerti dan merasa sudah menuliskan semua abjad secara benar. Misalnya, menulis ‘badak' menjadi ‘babak'.
5. MALAS MEMBACA
Oleh karena tak mampu memroses tulisan dalam kata, anak disleksia kerap tak paham apa maksud dari bacaan yang ia dibaca. Lama-lama, ia bisa malas membaca.
TIPS HADAPI ANAK SULIT MEMBACA & MENULIS
Menghadapi anak yang kesulitan membaca dan menulis, terkadang memang sulit dipahami orangtua. "Masak, membaca begitu saja susah?", merupakan kalimat yang kerap dipendam orangtua ketika mulai jengah mengulang mengajarkan sesuatu pada Si Kecil. Jangan menyerah! Simak tips berikut:
• Bertanya Bagian Yang Sulit. Yang perlu orangtua lakukan pertama kali adalah menanyakan bagian yang sulit, apakah pada fonem (bunyi), morfem (arti), tanda baca, huruf, atau lainnya.
• Buat Istilah Unik. Jika anak kesulitan membedakan huruf atau kata, buatlah istilah unik, untuk membantu ingatan jangka panjangnya (long term memory). Misalnya ‘b', huruf yang perutnya buncit.
• Jangan Memaksa. Sejumlah anak tak bisa mengingat bacaan secara cepat. Sebaiknya, jangan memaksanya belajar. Ikuti saja kemampuannya, dan ciptakan terus suasana belajar yang menyenangkan agar ia mau membaca dan menulis.
• Latihan Menyalin dan Mengeja. Ulangi terus latihan menyalin, baik dengan cara didikte atau menyalin dari papan tulis dan tesk di lembar lain. Ajak pula anak mengeja agar ia semakin hafal urutan huruf yang membentuk kata.
• Lakukan Tes
Jika semua upaya sudah dilakukan, jangan segan memberinya tes untuk menguji sejauh mana ia mendapatkan pelajarannya.


Gangguan Eliminasi
Diposkan oleh Fristy Hanifia Sabilla Minggu, 16 Mei 2010
Asosiasi Psikiater Amerika mengakui gangguan eliminasi dua, encopresis dan enuresis.
Encopresis adalah gangguan eliminasi yang melibatkan berulang kali setelah buang air besar di tempat-tempat yang tidak tepat setelah usia ketika kontrol usus biasanya diharapkan.
Encopresis juga disebut inkontinensia fecal,. Enuresis lebih umum disebut mengompol, adalah sebuah gangguan eliminasi yang melibatkan pelepasan urin ke selimut, pakaian, atau tempat yang tidak pantas lainnya. Kedua gangguan ini dapat terjadi pada siang hari (diurnal) atau pada malam hari (nokturnal). Mereka mungkin sukarela atau paksa dan. Encopresis enuresis dapat terjadi bersama-sama, meskipun paling sering terjadi secara terpisah.
Eliminasi gangguan dapat disebabkan oleh kondisi fisik, efek samping obat, atau kelainan jiwa. Adalah jauh lebih umum untuk gangguan eliminasi disebabkan oleh kondisi medis daripada psikiatris. Dalam kebanyakan kasus di mana penyebabnya adalah medis, kekotoran ini tidak disengaja. Ketika penyebab adalah jiwa, kekotoran mungkin disengaja, tetapi tidak selalu begitu.
Gangguan Eliminasi
Janin dan bayi mengeluarkan output buangan secara otomatis.setelah anak makin berkembang, mereka dilatih untuk menahan refleks natural yang memerintahkan untuk buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Pada buku klasik Patterns of Child Rearing, Robert Sears dan kawan- kawan (1957) menyatakan bahwa nak- anak Amerika sudah dilatih untuk buang air kecil rata- rata pada usia 18 bulan. Namun,mengompolmasih sering terjadi sampai usia 24 bulan. Saat ini kebanyakan anak di Amerika bisa mengontrol buang air kecil pada usia 2 dan 3 tahun. Namun, banyak yang masih terus erring mengompol setahun kemudia atau lebih. Enuresis dan enkopresis merupakan gangguan yang melibatkan masalah dengan BAK dan BAB tanpa penyebab organik.

Penyebab Enuresis ( gangguan eliminasi )
Sebuah temuan konsisten mengenai enuresis menyatakan bahwa kemungkinan seorang anak enuretik memiliki kerabat tingkat pertama yang juga mengompol sangat tinggi, mendekati 75 persen (Bakwin, 1973). Sebuah studi baru-baru mi di Denmark untuk pertama kalinya menunjukkan keterkaitan genetik langsung dalam mengompol di malaƱi harm; suatu bagian kromosom 13 tampaknya mengandung gen bagi enuresis nokturnal (Eiberg, Berendt, & Mohr, 1995).
Sebanyak 10 persen dan seluruh kasus enuresis disebabkan oleh kondisi medis murni, seperti infeksi saluran unin, penyakit ginjal kronis, tumor, diabetes, dan kejang (Kolvin, McKeith, & Meadows, 1973; Stansfield, 1973). Karena banyaknya insiden penyebab fisiologis enuresis, sebagian besar profesional merujuk pasien enuretik ke dokter sebelum memberikan penanganan psikologis.
Pengendalian kandung kemih, yaitu penghambatan suatu refleks alami hingga berkemih dengan sengaja dapat dilakukan, merupakan keterampilan yang sangat kompleks. Bukti-bukti medis mengenai aktivitas otototot panggul bawah mendukung pemikiran bahwa anak-anak yang mengompol tidak dapat melakukan kontraksi spontan pada otot-otot tersebut di malam hari (Norgaard, 1989a, 1989b).
Beberapa teori psikologis menganggap enuresis sebagai suatu simtorn gangguan psikologis yang lebih umum, seperti kecernasan. Meskipun demikian, banyak peneliti berpendapat bahwa masalah seperti kemarahan dan kecemasan merupakan reaksi atas rasa malu dan rasa bersalah karena mengompol, bukan sebagai penyebab enuresis. Para teoris pembelajaran berpendapat bahwa anak-anak mengompol karena mereka tidak belajar untuk terbangun di malam han sebagai respons yang dikondisikan atas penuhnya kandung kemih atau untuk menghambat relaksasi otot lingkar yang mengendalikan urinasi (Walker, 1995).
Penyebab Enuresis

Enuresis, lebih umum disebut mengompol, adalah gangguan eliminasi yang melibatkan atau sukarela rilis sukarela urin ke selimut, pakaian, atau tempat yang tidak pantas lainnya. Pada orang dewasa, hilangnya kontrol kandung kemih sering disebut sebagai inkontinensia daripada enuresis; itu sering ditemukan pada pasien dengan stadium akhir penyakit Alzheimer atau bentuk lain dari demensia .
Deskripsi

Enuresis adalah suatu kondisi yang telah dijelaskan sejak 1500 SM Orang dengan enuresis mengompol atau rilis urin pada saat-saat yang tidak pantas lainnya urin. Rilis dari pada malam hari (enuresis nokturnal) adalah jauh lebih umum daripada siang hari, atau diurnal, pembasahan. Enuresis sering mempengaruhi anak-anak dan adalah tidak disengaja. Banyak kasus enuresis jelas oleh diri mereka sebagai anak dewasa, meskipun beberapa anak-anak perlu atau pengobatan fisiologis perilaku agar tetap kering.
Enuresis
Enuresis berasal dari bahasa Yunani en-, yang berarti “di dalam” dan ouron, yang berarti “urine”. Enuresis adalah kegagalan untuk mengontrol BAK setelah seseorang mencapai usia “normal untuk mampu melakukan kontrol. Konsepsi tentang usia berapa yang normal untuk mencapai kontrol dapat berbeda di antara pakar klinis. Enuresis, seperti halnya gangguan perkembangan lain, lebih sering terjadi pada anak laki- laki. Enuresis diperkirakan memperngaruhi 7% anak laki- laki dan 3% anak perempuan usia 5 tahun. Gangguan ini biasanya hilang dengan sendirinya pada usia remaja atau sebelumnya, walaupun pada 1 kasus masalah ini berlanjut sampai dewasa (APA, 2000).
Enuresis dapat terjadi selama tidur malam saja, selama anak terjaga, atau keduanya. Enuresis saat tidur malam saja adalah tipe yang paling umum, dan enuresis yang muncul saat tidur disebut mengompol. Melakukan kontrol kemih pada malam hari lebih sulit daropada melakukannya pada siang hari. Bila tidur malam hari, anak- anak harus belajar untuk bangun bila mereka merasa ada tekanan dari kemih yang penuh dan kemudian pergi ke kamar mandi atau untuk BAK/ makin muda usia anak saat “dilatih”, makin besar kemungkinannya ia akan mengompol. Amat normal bagi anak- anak yang sudah bisa melakukan kontrol pada siang hari untuk tetap mengompol pada malam hari selama satu tahun dapat mencerminkan ketidakmatangan dari sistem saraf. Diagnosis enuresis diterapkan pada kasus- kasus mengompol di tempat tidur atau BAK di pakaian pada siang hari yang dilakukan berulang kali pada anak- anak yang berusia minimal 5 tahun.
Ciri- ciri diagnostic dari Enuresis sesuai DSM- IV:
• Anak berulang kali mengompol di tempat tidur atau pakaian (baik disengaja maupun tidak).
• Usia kronologis anak minimal 6 tahun (atau anak berada pada tingkat perkembangan yang setara).
• Perilaku tersebut muncul setidaknya dua kali seminggu selama 3 bulan, atau menyebabkan hendaya yang signifikan dalam fungsi atau distres.
• Gangguan ini tidak memiliki dasar organik.
Enkopresis
Enkopresis berasal dari bahasa Yunani en- dan kopros, yang artinya “feses”. Enkopresis (encopresis) adalah kurangnya kontrol terhadap keinginan buang air besar yang bukan disebabkan oleh masalah organik. Anak harus memiliki usia kronologis minimal 4 tahun, atau pada anak- anak dengan perkemabangan yang lambat, usia mentalnya minimal 4 tahun (APA, 2000). Sekitar 1% dari anak- anak usia 5 tahun mengalami enkopresis. Seperti halnya enuresis, gangguan ini lebih umum terjadi pada anak laki- laki. Enkopresis jarang terjadi pada remaja usia pertengahan kecuali mereka yang mengalami retardasi mental yang parah atau intens. Soiling (mengotori) dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak dan bukan disebabkan oleh maslah organik, kecuali pada kasus dengan konstipasi (APA, 2000). Faktor- faktor predisposisi yang mungkin di antaranya adalah toilet training yang tidak konsisten atau tidak lengkap dan sumber stresspsikologis, seperti kelahiran saudara sekandung atau mulai bersekolah.
Soiling, tidak seperti enuresis, lebih sering terjadi pada siang hari dibandingkan malam hari. Jadi akan amat memalukan bagi bagi anak. Teman sekelas sering menghindari atau mempermalukan anak dengan enkopresis. Karena tinja memiliki bau yang menyengat, guru- guru merasa kesulitan untuk berperilaku seolah- olah tidak terjadi apa pun. Orang tua juga akhirnya sakit hati karena masalah tersebut berulang dan dapat menigkatkan tuntutan mereka terhadap self- control dan pemberian hukuman berat bila terjadi kegagalan. Karena hal- hal tersebut, anak mungkin mulai menyembunyikan pakaian dalam yang kotor. Anak- anak ini membuat jarak dengan teman- temannya atau pura- pura sakit agar bisa tinggal di rumah. Kecemasan mereka sehubungan dengn soiling meningkat. Karena kecemasan (keterangsangan cabang simpatis dari sistem saraf otonom) mendorong BAB, control menjadi lebih sulit.
Bila BAB tidak disnegaja, biasanya terkait dengan konstipasi, impaction (jepitan), atau retensi (penahanan) yang mengakibatkan penegeluaran beruntun. Konstipasi dapat berhubungan dengan faktor- faktor psikologis, seperti ketakutan yang diasosiasikan dengan BAB di tempat tertentu atau dengan pola perilaku negative atau menetang yang lebih umum. Konstipasi juga dapat terkait dengan faktor- faktor fisiologis seperti komplikasi dari penyakit atau pengobatan. Yang amat jarang terjadi adalah enkopresis yang disengaja.
Soiling sering tampak setelah pemberian hukuman berat terhadap satu “kecelakaan” atau lebih, terutama pada anak- anak yang telah sangat stres atau cemas. Hukuman berat dapat mempfokuskan perhatian anak pada soiling. Mereka kemudian mungkin merenung tentang soiling, yang menaikkan tingkat kecemasan sampai self- control terganggu.
Metode operant conditioning dapat membantu dalam mengatasi soiling. Di sini diberikan reward (dengan pujian atau cara- cara lain) untuk keberhasilan usaha self- control dan hukuman untuk ketidaksengajaan (misalnya, dengan member peringatan agar lebih memperhatikan rasa ingin BAB dan meminta anak untuk membersihkan pakaian dalamnya). Bila enkopresis bertahan, direkomendasikan evaluasi medis dan psikologis untuk menentukan kemungkinan penyebab dan penanganan yang tepat.

gangguan fonologis
1. Definisi
Gangguan Fonologi adalah kegagalan untuk menggunakan bunyi-bunyi ujaran yang sesuai bagi usia individu usia dan dialek yang digunakan. Gangguan ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Sekitar 3% dari anak-anak pra-sekolah dan 2% dari anak usia 6-7 tahun memiliki kelainan ini, sedangkan yang berusia 17 tahun, hanya 0,5% yang terpengaruh. Penyebab gangguan fonologis pada anak-anak tidak diketahui. Kemungkinan karena komponen genetik, karena sebagian besar anak-anak dengan masalah ini mempunyai saudara dengan kelainan yang serupa.
2. Gejala
• Kegagalan suara dengan tepat
• Mengganti suara satu suara lain
• Hilang suara
3. Pengobatan
Bentuk yang lebih ringan dari gangguan ini dapat hilang dengan sendirnya. Terapi wicara di anggap sebagai pengobatan yang sukses.

Gangguan Fonologi
Dekrispi
Gangguan Fonologi adalah kegagalan untuk menggunakan bunyi-bunyi ujaran yang sesuai bagi usia individu usia dan dialek yang digunakan. Gangguan ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Sekitar 3% dari anak-anak pra-sekolah dan 2% dari anak usia 6-7 tahun memiliki kelainan ini, sedangkan yang berusia 17 tahun, hanya 0,5% yang terpengaruh. Penyebab gangguan fonologis pada anak-anak tidak diketahui. Kemungkinan karena komponen genetik, karena sebagian besar anak-anak dengan masalah ini mempunyai saudara dengan kelainan yang serupa.

Gejala
* Kegagalan bersuara dengan tepat
* Mengganti satu suara lain
* Hilang suara
Perawatan
Bentuk yang lebih ringan dari gangguan ini dapat hilang dengan sendirinya. Terapi wicara dianggap sebagai pengobatan yang paling sukses.
Gangguan Ekspresif
Berikut ini adalah gejala yang paling umum gangguan komunikasi. Namun, setiap anak mungkin mengalami gejala yang berbeda.
a. Mungkin tidak berbicara sama sekali, atau mungkin memiliki kosakata yang terbatas untuk usia mereka.
b. Apakah kesulitan memahami petunjuk sederhana atau tidak mampu untuk nama benda.
c. Menunjukkan masalah dengan sosialisasi.
d. Ketidakmampuan untuk mengikuti arah tetapi pemahaman menunjukkan dengan rutin, arah berulang-ulang.
e. Echolalia (mengulangi kembali kata-kata atau frasa baik langsung atau di lain waktu.).
f. Ketidaksesuaian tanggapan ke "wh" pertanyaan
g. Kesulitan tanggapan yang sesuai untuk: ya / tidak pertanyaan, baik / atau pertanyaan, siapa / apa / mana pertanyaan, ketika / mengapa / bagaimana pertanyaan
h. Mengulang kembali pertanyaan pertama dan kemudian menanggapi mereka
i. Aktivitas tinggi tingkat dan tidak menghadiri untuk bahasa lisan
j. Jargon (misalnya bicara tidak dapat dimengerti)
k. Menggunakan "hafal" frase dan kalimat
l. Mereka mungkin memiliki masalah dengan kata-kata atau kalimat, baik pemahaman dan berbicara mereka
m. Belajar masalah dan kesulitan akademis
Sementara banyak bicara dan pola bahasa dapat disebut "bayi bicara" dan merupakan bagian dari anak normal pembangunan muda, Mereka bisa menjadi masalah jika mereka tidak terlalu besar seperti yang diharapkan.
Dengan cara ini suatu keterlambatan dalam pidato awal dan bahasa atau pola pidato awal dapat menjadi gangguan yang dapat menyebabkan kesulitan dalam belajar lebih mudah untuk belajar bahasa dan kemampuan komunikasi sebelum usia 5.
Gangguan mungkin mirip masalah lain atau kondisi medis. Always consult your child's physician for a diagnosis. Selalu berkonsultasi dengan dokter anak Anda itu untuk diagnosis.
Gangguan reseptif – ekspresif
Mencakup permasalahan gangguan bahasa dan kesulitan mengerti dan menerima kata-kata dan kalimat serta menentukan maknanya. Dua gangguan tersebut gampang muncul disaat lahir dan pada proses perkembangan atau keduanya diperoleh sebagai akibat cedera neurologis atau cedera pada otak. Kelainan ini juga bisa disebabkan karena adanya lesi pada bagian posterior dari grilus frontalis inferior yaitu sekitar daerah broca. Selain cirri gangguan bicara ekspretif, anak-anak ini juga mempunyai kesulitan mengartikan ucapan orang lain, terutama yang bersifat abstrak. Mereka sering salah mengartikan pertanyaan, komentar, atau cerita yang panjang.
Kriteria diagnosis memerlukan intelegensi non-verbal yang normal. Prognosis kurang baik dibandingkan gangguan berbahasa ekspretif. Pada masa sekolah mereka akan tertinggal oleh teman sebayanya. Karena komprehensi kurang baik, dapat muncul gangguan atensi. Kira-kira 40-60% akan mengalami gangguan fonologi, sedangkan 50% mengalami gangguan membaca. Masalah bahasa, dikombinasi dengan kesulitan membaca atau atensi akan menyebabkan lingkaran setan kemampuan akademik yang kurang, rasa percaya diri yang rendah, motivasi yang rendah dan isolasi sosial pada 70% kasus. Mereka akan dapat berbicara, tetapi terlambat dibandingkan anak sebayanya. Pada masa dewasa, kemampuan bicara cukup untuk komunikasi sehari-hari, tetapi mereka tetap menunjukan kesulitan bila harus mengartikan atau menceritakan suatu masalah yang kompleks

GAGAP PADA ANAK
Gagap merupakan gangguan bicara, dengan indikasi tersendatnya pengucapan kata-kata atau rangkaian kalimat. Kelainan ini dapat berupa kehilangan ide untuk mengeluarkan kata-kata, pengulangan beberapa suku kata, kesulitan mengeluarkan bunyi pada huruf-huruf tertentu, sampai dengan ketidakmampuan mengeluarkan kata-kata sama sekali. Umumnya, gagap bukan disebabkan oleh proses fisik produksi suara atau proses penerjemahan pikiran menjadi kata.
Gagap biasanya muncul di rentang usia 2-5 tahun. Dalam kebanyakan kasus, gagap akan hilang dengan sendirinya ketika anak mencapai usia 5 tahun, karena ia sudah lebih mahir berbicara. Gagap lebih banyak menyerang anak laki-laki daripada anak perempuan.
Gagap bersifat variabel, yang berarti bahwa pada situasi tertentu tingkat kegagapan seorang anak dapat meningkat atau menurun dan gagap juga tidak berhubungan dengan tingkat kecerdasan anak. Di luar kegagapannya, anak yang gagap umumnya normal.
Dampak psikologis dari gagap adalah adanya frustasi, anxiety,penalty dan rasa minder pada diri anak. Sudah tentu berakibat pada segi sosialnya seperti sukar bergaul, menghindari bicara dengan orang lain terutama kepada yang lebih tua, atau orang yang belum dikenal, suka menyendiri.
Mengatasi Gangguan Kecemasan pada Anak
Serpong- Banyak orang tua belum mengetahui hal yang melanda seperti kecemasan yang terjadi di dalam diri buah hatinya. Rata-rata orang tua baru mengetahuinya setelah anaknya menunjukkan perilaku yang aneh.

Menurut psikolog anak dr. Devita Kusindiati, anak-anak memang sering mengalami kecemasan yang kadang tidak dapat diketahui oleh orang tuanya. Dan hal ini disebabkan ada beberapa faktor diantaranya merasa tidak aman, orang tua dan guru tidak konsisten dalam mendidik atau mengasuh anak sehingga membuat anak bingung dan cemas.

Tidak hanya itu saja orangtua yang perfeksionis, pola asuh permisif (permissiveness), banyak dikritik oleh orang tua atau teman sebaya, adult confident, dan frustasi yang berlebihan.
“Kecemasan general (generalized anxiety), kecemasan keterpisahan (separation anxiety), kecemasan social (social anxiety), obsesif kompulsif (obsessive Compulsive Disorder), dan serangan panic (panic attack), sering menimpa anak-anak,” tuturnya.

Dan untuk mengatasi hal tersebut Dr. Devita juga menerangkan cara menangani kecemasan pada anak. Yang pertama adalah menenangkan anak dengan memberi keyakinan pada anak. Kedua, melatih anak untuk melakukan relaksasi dan yang ketiga, orang tua memandu anak untuk berfikir positif atau sesuatu yang menyenangkan anak. Keempat, positif bicara pada diri “self

anak anda gagap?apa seh solusinya??
________________________________________
1. KETIKA Moms mendengar tiba-tiba si kecil bicara dengan gagap, rasa kaget dan khawatir sempat menyelimuti pikiran Anda.

Sebenarnya pada anak-anak adalah hal yang biasa jika mereka bicara tidak lancar seperti ada jeda, mengulang-ulang, penambahan kata, atau perpanjangan suatu kata, bunyi, atau frase.

Mereka bisa saja mengalami gagap pada saat-saat tertentu masa perkembangannya, biasanya saat usia prasekolah. Hal ini bisa terjadi oleh sebab yang tidak pasti, mungkin terlalu gembira, capek, atau terburu-buru bicara.

Untuk membahas mengenai gagap yang menimpa anak, Psikolog dari RS Global Awal Bross Dian Wisnuwardhani S.Psi, M.Psi, dan Terapis Wicara dari RSAB Harapan Kita Rita Rahmawati, A. MdTW, S.Pd memaparkan penjelasannya.

anak anda gagap?apa seh solusinya??
________________________________________
1. KETIKA Moms mendengar tiba-tiba si kecil bicara dengan gagap, rasa kaget dan khawatir sempat menyelimuti pikiran Anda.

Sebenarnya pada anak-anak adalah hal yang biasa jika mereka bicara tidak lancar seperti ada jeda, mengulang-ulang, penambahan kata, atau perpanjangan suatu kata, bunyi, atau frase.

Mereka bisa saja mengalami gagap pada saat-saat tertentu masa perkembangannya, biasanya saat usia prasekolah. Hal ini bisa terjadi oleh sebab yang tidak pasti, mungkin terlalu gembira, capek, atau terburu-buru bicara.

Untuk membahas mengenai gagap yang menimpa anak, Psikolog dari RS Global Awal Bross Dian Wisnuwardhani S.Psi, M.Psi, dan Terapis Wicara dari RSAB Harapan Kita Rita Rahmawati, A. MdTW, S.Pd memaparkan penjelasannya.

Trauma atau Masalah Emosional

Marilah kita lihat satu persatu apa penyebab gagap. Pertama, gagap bisa disebabkan karena trauma atau masalah emosional.

Pada keadaan gagap yang terjadi setelah kondisi stroke, head trauma, atau karena brain injury, otak mengalami kesulitan dalam melakukan koordinasi komponen-komponen kata atau suku kata yang disebabkan pemberian sinyal antara otak dan syaraf atau otot mengalami gangguan.

Gagap pun bisa terjadi karena masalah emosional. Misalnya anak mengalami gangguan emosi atau bersitegang dengan orangtua, orang sekitar atau lingkungan. Hal ini bisa memicu kelainan ritme atau gagap. Secara tak terkontrol, anak tiba-tiba bicara dengan sering mengulang-ulang. Bahkan kadang-kadang disertai ketegangan yang berlebihan pada muka serta timbul rasa takut selama bicara.

Perkembangan dan Lingkungan

Kedua, faktor perkembangan juga memberikan kontribusi. Selama masa prasekolah, fisik, kognitif, sosial atau emosional, dan kemampuan bicara atau bahasa anak berkembang sangat pesat. Perkembangan yang pesat ini bisa menimbulkan kegagapan pada anak yang terpengaruh oleh hal ini. Makanya gagap biasa terjadi pada anak usia pra sekolah.

Ketiga, faktor lingkungan mencakup perilaku orang tua, teman-teman pergaulan juga orang sekitar, atau kejadian-kejadian yang menegangkan. Ini tidak berarti orangtua melakukan sesuatu yang salah.

Seringkali faktor-faktor ini tidak memengaruhi anak yang memang tidak gagap, tapi bisa menimbulkan gagap pada anak yang mempunyai kecenderungan untuk itu.

Terakhir, rasa takut dan kekhawatiran pada anak bisa menyebabkan hal ini berlanjut, bahkan memburuk. Tapi tenang Moms, masalah gagap pada anak masih bisa diatasi.

Tip & Trik Atasi Gagap

Berikut yang bisa dilakukan orangtua atau kerabat dekat di rumah untuk penanganan dini kepada anak yang mengalami gagap atau timbul gejala gagap:

1. Sabar dan siap menerima diri sebagai orangtua, di mana si kecil membutuhkan bantuan untuk mengatasi gagapnya.
2. Selalu memberikan rasa nyaman dan menularkan semangat kepada anak dengan tersenyum.
3. Gunakanlah waktu beberapa menit setiap hari untuk berbicara dengan anak dalam suasana rileks.
4. Cobalah untuk memberi sentuhan lembut, merangkulnya dengan tenang dan penuh perhatian saat buah hati ingin mengungkapkan sesuatu dalam kondisi terburu-buru - mungkin terlalu gembira atau terlalu capek.
5. Hentikan pekerjaan yang sedang Anda kerjakan dan dengarkan dirinya "dengan menggunakan mata Anda." Jangan biarkan wajah Anda berkerut dan gunakan intonasi suara yang bersahabat.
6. Pastikan Anda mendengar apa yang dikatakan anak tanpa menginterupsi atau menyelesaikan kalimat untuknya. Adalah sangat penting anak tahu bahwa Anda mengerti apa yang dikatakannya.
7. Dengarkan dan lihat dengan cermat apa yang Anak ucapkan, jangan mempermasalahkan cara ia bicara. Semakin anak merasa takut akan semakin sulit bagi dia untuk berbicara. Sabarlah hingga anak menyelesaikan bicaranya, lakukanlah selalu kontak mata, agar anak juga selalu merasa diperhatikan.
8. Ketika anak berbicara, katakanlah secara jujur jika ada kata-kata yang kurang Anda pahami. Mintalah anak untuk mengulang kembali dengan perlahan dan santai.
9. Lakukanlah konsentrasi ketika anak mencoba mengatakan sesuatu. Ingat jangan membuat anak merasa takut.
10. Jangan sekali-kali mengatakan kepada anak, bahwa gagap adalah keadaan yang memalukan dan salah sehingga merugikan.
11. Jika berbicara dengan anak gagap, lakukanlah dengan perlahan, baik kecepatan dan artikulasi kata. Pastikan bahwa anak cukup dapat memahami, dan kemudian minta anak untuk mengulangi lagi.
12. Ketika Anda melihat sekiranya anak cukup siap menerima keadaannya, bicarakan apa yang membuat anak gagap, cobalah terus menggali ketakutan, kekesalan dan kecemasan dan kemungkinan juga rasa malu. Ketika ia berhasil menceritakan kepada Anda, akan lebih mudah untuk memahami si anak dan rasa saling percaya akan terjalin.
13. Selalu ciptakan suasana nyaman dan aman saat belajar bicara di mana saja dan kapan saja.
14. Jangan malu bertanya kepada terapis wicara, langkah-langkah apa yang harus dilakukan di rumah, sambil tetap melakukan terapi wicara bagi anak.
15. Anak-anak penderita gagap hendaknya dihindarkan dari situasi lingkungan yang menekan.
16. Semua anggota keluarga baik kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek, pengasuh dan teman serta guru harus ikut mendukung dalam menangani anak dengan gangguan gagap.(Mom& Kiddie//nsa)

Gagap Pada Anak, Tips Untuk Orang Tua

Apakah gagap itu? Gagap adalah suatu gangguan kelancaran berbicara. Anak usia 2 sampai 5 tahun sering mengulang-ulang kata-kata atau bahkan seluruh kalimat yang diucapkan kepadanya. Ia kadang-kadang juga mengucapkan ungkapan-ungkapan seperti ee atau mm saat ia berbicara. Hal ini dianggap normal bila terjadi pada anak yang masih belajar berbicara.
Anak pada golongan usia tersebut masih mempelajari cara berbicara, mengembangkan kendali terhadap otot-otot berbicaranya, mempelajari kata-kata baru, menyusun kata-kata dalam suatu kalimat, dan mempelajari bagaimana cara bertanya serta mempelajari akibat dari kata-kata yang mereka ucapkan. Oleh karena itu, anak pada golongan usia tersebut umumnya masih mengalami gangguan kelancaran berbicara.

Apakah Penyebab Gagap?

Banyak orang tua yang merasa bahwa gagap disebabkan oleh cara mendidik anak atau pola pengasuhan orang tua yang salah. Tetapi menurut para ahli, gagap tidak disebabkan oleh perilaku orang tua. Kenyataannya, penyebab gagap sampai saat ini belum dapat dijelaskan secara pasti. Gagap merupakan suatu keadaan yang sangat rumit dan banyak berkaitan dengan hal-hal lain.
Anak laki-laki lebih banyak mengalami gagap dari pada anak perempuan dengan perbandingan tiga banding satu. Hal ini berkaitan dengan faktor-faktor lingkungan, seperti stres.

Tanda-Tanda Awal

Umumnya tanda-tanda awal kegagapan terlihat pada usia dua tahun atau pada saat anak mulai belajar merangkai kata-kata menjadi suatu kalimat. Sering kali orang tua merasa jengkel dengan kegagapan anak, tetapi hal ini merupakan hal yang umum ditemui saat anak masih dalam tahap perkembangan berbicara. Kesabaran merupakan sikap terpenting yang harus dimiliki oleh orang tua selama anak berada dalam tahap ini. Seorang anak mungkin mengalami gangguan kelancaran berbicara selama beberapa minggu atau bulan dengan gejala yang hilang timbul. Sebagian besar anak akan lancar berbicara dan tidak akan gagap lagi bila kegagapannya itu dimulai pada usia kurang dari 5 tahun.

Anak Usia Sekolah

Saat anak mulai memasuki usia sekolah, kemampuan dan keterampilan berbicaranya akan semakin terasah. Umumnya anak akan semakin lanca berbicara dan ia sudah tidak gagap lagi. Jika ia masih gagap, umumnya pada usia tersebut ia sudah mulai merasa malu akan hal tersebut. Anak seperti ini membutuhkan latihan khusus untuk membantunya dalam berkomunikasi.

Bantuan Yang Diperlukan

Seorang anak sebaiknya mulai mendapat bantuan khusus bila:

-orang tua mulai merasa khawatir akan kelancaran berbicara anaknya

-anak terlalu sering mengulang kata-kata atau bahkan seluruh kalimat

-pengulangan suara-suara seperti aa semakin sering diucapkannya

-anak tampak kesulitan saat akan berbicara

-gangguan kelancaran berbicaranya semakin berat

-mimik muka anak tampak tegang saat berbicara

-suara anak terdengar tegang saat mengucapkan kata-kata bernada tinggi

-anak sering menghindari keadaan dimana ia harus berbicara

Jika ada tanda-tanda diatas yang tampak saat anak berbicara maka sebaiknya orang tua mulai menghubungi dokter atau ahli terapi bicara. Semakin dini bantuan yang diberikan kepada seorang anak maka semakin baik pula hasil yang akan diperoleh.

Apa Yang Dapat Dilakukan Oleh Orang Tua?

Berikut ini adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk menciptakan suatu suasana yang membantu bagi seorang anak:

-Jangan menyuruh anak untuk selalu berbicara dengan tata bahasa yang benar. Biarkan anak untuk berbicara dengan nyaman dan menyenangkan.

-Manfaatkan waktu makan bersama untuk melatih kelancaran berbicara anak. Hindari hal-hal lain yang mungkin mengganggu seperti televisi atau radio.

-Jangan selalu mengkritik anak dengan ucapan seperti pelan-pelan saja atau semacamnya. Komentar semacam ini, walaupun diucapkan dengan niat baik, hanya akan membuat anak merasa semakin tertekan.

-Ijinkan anak untuk berhenti berbicara jika ia merasa tidak nyaman.

-Jangan menyuruh anak untuk mengulangi kata-katanya.

-Jangan selalu menyuruh anak untuk berhati-hati dalam berbicara.

-Ciptakan suasana yang tenang di rumah.

-Berbicaralah dengan pelan dan jelas kepada anak.

-Tataplah mata anak bila berbicara dengannya. Jangan melihat kearah lain dan jangan pula menunjukkan kekecewaan anda didepan anak.

-Biarkan anak berbicara dan mengucapkan kalimatnya sampai selesai.

-Yang paling penting adalah: seringlah berlatih! Jadilah contoh yang baik bagi anak dengan selalu berbicara dengan jelas.

Gangguan Ekspresif
Berikut ini adalah gejala yang paling umum gangguan komunikasi. Namun, setiap anak mungkin mengalami gejala yang berbeda.
a. Mungkin tidak berbicara sama sekali, atau mungkin memiliki kosakata yang terbatas untuk usia mereka.
b. Apakah kesulitan memahami petunjuk sederhana atau tidak mampu untuk nama benda.
c. Menunjukkan masalah dengan sosialisasi.
d. Ketidakmampuan untuk mengikuti arah tetapi pemahaman menunjukkan dengan rutin, arah berulang-ulang.
e. Echolalia (mengulangi kembali kata-kata atau frasa baik langsung atau di lain waktu.).
f. Ketidaksesuaian tanggapan ke "wh" pertanyaan
g. Kesulitan tanggapan yang sesuai untuk: ya / tidak pertanyaan, baik / atau pertanyaan, siapa / apa / mana pertanyaan, ketika / mengapa / bagaimana pertanyaan
h. Mengulang kembali pertanyaan pertama dan kemudian menanggapi mereka
i. Aktivitas tinggi tingkat dan tidak menghadiri untuk bahasa lisan
j. Jargon (misalnya bicara tidak dapat dimengerti)
k. Menggunakan "hafal" frase dan kalimat
l. Mereka mungkin memiliki masalah dengan kata-kata atau kalimat, baik pemahaman dan berbicara mereka
m. Belajar masalah dan kesulitan akademis
Sementara banyak bicara dan pola bahasa dapat disebut "bayi bicara" dan merupakan bagian dari anak normal pembangunan muda, Mereka bisa menjadi masalah jika mereka tidak terlalu besar seperti yang diharapkan.
Dengan cara ini suatu keterlambatan dalam pidato awal dan bahasa atau pola pidato awal dapat menjadi gangguan yang dapat menyebabkan kesulitan dalam belajar lebih mudah untuk belajar bahasa dan kemampuan komunikasi sebelum usia 5.
Gangguan mungkin mirip masalah lain atau kondisi medis. Always consult your child's physician for a diagnosis. Selalu berkonsultasi dengan dokter anak Anda itu untuk diagnosis.

Gangguan reseptif – ekspresif
Mencakup permasalahan gangguan bahasa dan kesulitan mengerti dan menerima kata-kata dan kalimat serta menentukan maknanya. Dua gangguan tersebut gampang muncul disaat lahir dan pada proses perkembangan atau keduanya diperoleh sebagai akibat cedera neurologis atau cedera pada otak. Kelainan ini juga bisa disebabkan karena adanya lesi pada bagian posterior dari grilus frontalis inferior yaitu sekitar daerah broca. Selain cirri gangguan bicara ekspretif, anak-anak ini juga mempunyai kesulitan mengartikan ucapan orang lain, terutama yang bersifat abstrak. Mereka sering salah mengartikan pertanyaan, komentar, atau cerita yang panjang.
Kriteria diagnosis memerlukan intelegensi non-verbal yang normal. Prognosis kurang baik dibandingkan gangguan berbahasa ekspretif. Pada masa sekolah mereka akan tertinggal oleh teman sebayanya. Karena komprehensi kurang baik, dapat muncul gangguan atensi. Kira-kira 40-60% akan mengalami gangguan fonologi, sedangkan 50% mengalami gangguan membaca. Masalah bahasa, dikombinasi dengan kesulitan membaca atau atensi akan menyebabkan lingkaran setan kemampuan akademik yang kurang, rasa percaya diri yang rendah, motivasi yang rendah dan isolasi sosial pada 70% kasus. Mereka akan dapat berbicara, tetapi terlambat dibandingkan anak sebayanya. Pada masa dewasa, kemampuan bicara cukup untuk komunikasi sehari-hari, tetapi mereka tetap menunjukan kesulitan bila harus mengartikan atau menceritakan suatu masalah yang kompleks

Mengatasi Kecemasan pada Anak
KECEMASAN pada anak berhubungan dengan keterampilan social Semakin tidak terampil, si buah hati akan merasa takut berada di lingkungan baru. Bagaimana mengatasinya?

Orangtua Budi, 6, sama sekali tidak menyangka jika hari pertama ke sekolah menjadi hari paling menakutkan bagi buah hatinya. Bagaimana tidak, Budi yang biasanya ceria, setiap pagi selalu bangun dengan tawa yang menghiasi wajah, sekarang malah menangis begitu memasuki halaman sekolah.

Budi seakan takut menginjakkan kaki di sekolah. Tangisnya semakin menjadi-jadi ketika menyaksikan anak-anak seusianya yang tidak dikenal. Budi semakin kencang bergelayutan di pangkuan ibunya, seakan tidak ingin ditinggalkan. Kondisi tersebut tentu saja membuat orangtua Budi sangat heran dan sama sekali tidak menyangka bahwa buah hatinya akan setakut itu berada di lingkungan baru.

Kejadian itu sebenarnya wajar dialami anak-anak. Sebab, masa awal anak-anak (early childhood) merupakan periode perkembangan yang terentang dari akhir masa bayi hingga usia kira-kira 5 atau 6 tahun.

Pada masa ini, anak mulai belajar untuk mandiri, mengembangkan berbagai keterampilan seperti pengenalan huruf, mematuhi perintah, dan menghabiskan waktu dengan bermain, terutama dengan teman sebayanya. Periode ini disebut juga tahun-tahun prasekolah, karena merupakan masa persiapan bagi anak untuk memasuki sekolah dasar.

Taman kanak-kanak merupakan tempat yang tepat bagi anakanak untuk mempersiapkan dirinya sebelum memasuki sekolah dasar.

Taman kanak-kanak merupakan salah satu media yang bisa menyediakan fasilitas yang dibutuhkan anak dalam mengembangkan fungsi intelektual dan potensi lain yang dimilikinya. Selain itu, anak akan mulai belajar untuk dapat menguasai lingkungan sosial yang lebih luas daripada lingkungan keluarga.

Pertama kali anak memasuki lingkungan baru di antaranya taman kanak-kanak, umumnya mereka mengalami ketakutan dan kekhawatiran. Manifestasi dari perasaan takut ini bisa menimbulkan macam-macam gejala gangguan, antara lain berupa, kejang atau sakit pada perut, sering buang air besar, sering kencing, sakit kepala, dan timbulnya tics (gerak-gerak facial pada wajah, misalnya berkedip, bergeleng-geleng, berkenyit atau anak jadi cepat marah. Ada kalanya anak juga jadi pemurung dan penakut.

Hasil survei awal yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa pada minggu-minggu pertama anak memasuki taman kanak-kanak, beberapa anak menangis karena harus berpisah dengan orangtuanya, anak tidak ingin ditinggal orangtuanya, anak menjadi pendiam dan pemalu, dan juga anak datang ke sekolah dengan wajah murung. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di Amerika Serikat, di mana banyak ditemui anak-anak yang mengeluh dan menolak untuk pergi ke sekolah.

Penolakan tersebut ditunjukkan dengan munculnya keluhan anak seperti sakit perut setiap Senin pagi, anak terlihat enggan dan harus dipaksa berangkat ke sekolah, anak dengan sengaja melupakan sesuatu supaya terlambat pergi ke sekolah, anak sering berkata benci sekolah atau tidak ingin berangkat sekolah, dan ketika berada di sekolah selalu mengatakan ingin pulang.

"Ketakutan yang menghinggapi anak-anak ketika berada dalam lingkungan baru itu, menan- dakan bahwa sebenarnya anak belum siap dan kurangnya sosialisasi dari orangtua," kata Psikolog Anak Alumni Universitas Indonesia (UI) Dr Farah Agustin.

Farah menambahkan, sosialisasi yang dapat dilakukan orangtua seharusnya adalah dengan sering bercerita kepada anak bahwa lingkungannya yang baru adalah sebuah tempat yang menyenangkan dan membuat anak jadi lebih pandai.

"Dibutuhkan kesabaran bagi orangtua, karena tidak semua anak bisa beradaptasi dengan cepat di lingkungan barunya," terang dia.

Perilaku anak yang muncul terkait dengan penolakan untuk ke sekolah jika berlangsung dalam waktu yang panjang dan terjadi pada usia pertumbuhan, imbuh Farah, bukanlah suatu hal yang bisa dianggap ringan, tetapi mengarah pada masalah yang lebih serius. Salah satunya adalah perasaan cemas yang dialami saat akan masuk sekolah. Dan berdasarkan data penelitian tahun 2003 di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa gangguan kecemasan adalah salah satu bentuk penyakit jiwa terbanyak yang dialami anak-anak dan 10 persen di antaranya membutuhkan perawatan medis.

Jadi, risiko anak-anak prasekolah di Amerika Serikat untuk terkena gangguan kecemasan bisa naik di atas 10 persen.

Kecemasan ini sendiri dapat berpengaruh negatif pada diri anak dalam jangka panjang, di antaranya hilangnya kepercayaan diri, sulit untuk bersosialisasi, perasaan tidak berdaya, anak terlihat menjadi pemurung, dan tidak jarang muncul perasaan khawatir.

Kecemasan masuk sekolah secara sederhana dapat diartikan sebagai bagian dari kecemasan umum akibat rasa takut berpisah dari ibu atau pengganti ibu, dan ketidakmampuan berdiri sendiri. Sedangkan menurut Kendall, Howard, dan Epps (dalam Goldstein, 1995), kecemasan yang dialami anak- anak dapat berpengaruh pada peran anak di rumah, di sekolah, ataupun dengan teman sebayanya.

Untuk mengatasi dan menghindari rasa cemas ini, anak-anak menggunakan berbagai macam teknik atau cara, di antaranya dengan memilih tetap tinggal di rumah daripada ke sekolah yang didasarkan pada alasan-alasan yang negatif. Kecemasan yang selalu melekat pada pikiran anakanak biasanya disebabkan adanya gangguan-gangguan yang datang dari sekolah. Anak mencoba untuk menghindari gangguan tersebut dengan menolak ke sekolah.

Meskipun demikian, penolakan untuk ke sekolah tetap merupakan perilaku yang negatif pada anak-anak. Sebab, salah satu penyebab anak-anak mengalami kecemasan masuk sekolah adalah adanya sesuatu yang mengganggu mereka, antara lain adanya permasalahan pada guru atau dengan teman, ketidakmampuan belajar, perubahan di rumah, tidak ingin ditinggalkan orangtua, perasaan malu, merasa gugup di sekolah, kelas atau situasi sekolah yang baru, tugas-tugas sekolah yang terlalu mudah dan membosankan, tugastugas sekolah yang terlalu sulit dan membuat frustrasi.

Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1993) yang mengatakan bahwa rasa cemas akan cenderung meningkat bila tiba saatnya ke sekolah dan beberapa yang disebabkan aspek situasi di sekolah. "Cara mengatasinya adalah orangtua harus mengetahui apa yang menjadi permasalahan anak-anak mereka. Kalau perlu, lakukan pendekatan kepada guru dan teman-temannya. Selain itu, bertanyalah tentang bagaimana tingkah laku anak ketika berada di sekolah," tutur psikolog berkacamata tersebut.
Mengatasi Kecemasan Pada Anak
Suatu saat anak anda mengalami kecemasan. Mungkin karena ketakutan terhadap hal-hal yang tidak nyata, misalnya takut pada setan setelah melihat film horor. Atau takut karena ada ancaman dari temen-temannya di sekolah atau teman-teman di sekolah.
Berikut ini, adalah tips untuk mengatasi kecemasan pada anak Anda :
1. Berbicaralah dengan anak dari hati kehati mengenai apa yang dicemaskan olehnya.
2. Dengarkan dengan penuh perhatian terhadap apa yang yang dikatakan oleh anak. Tunjukkan bahwa anda benar-benar perhatian terhadap anak, serta yakinkan pada anak bawah masalah itu dapat diatasi.
3. Bantu anak untuk mengatasi masalah yang dihadapi, tetapi jangan anda atasi sendiri masalah tersebut. Ajak anak untuk mengatasi masalah yang dia hadapi.
4. Jelaskan kepada anak bahwa masalah tersebut dapat terjadi pada siapa saja meskipun kejadian itu jarang terjadi.
5. Tunjukkan pada anak bawah anda menjamin keselamatan mereka.

Mengatasi kecemasan Anak Cerdas anda karena perpisahan yang bersifat sementara
Posted on May 26, 2010 by admin
Setiap anak mengalami masa kecemasan. Mulai usia tujuh bulan sampai tahun – tahun prasekolah, mereka memperlihatkan kecemasan tinggi di saat terpisah dari orang tuanya.
Perasaan dibuang merupakan rasa takut yang biasa dialami Anak Cerdas yang masih kecil, bahkan bisa membuat mereka menderita sakit secara fisik.
Jika anda tahu bahwa Anak Cerdas anda merasa cemas dalam keadaan tertentu, anda perlu menyiapkan mereka jauh sebelumnya, misalnya :
•Kunjungilah dahulu sekolah itu jauh – jauh hari sebelumnya.
•Ajak Anak Cerdas anda bertemu dengan guru – guru di sana dan terbiasa dengan bangunan serta raung kelasnya.
•Yakinkan bahwa anda akan berada di tempat yang sama setiap hari untuk menjemputnya pulang ketika sekolah usai.
•Melaksanakan kebiasaan mengatakan selamat tinggal sebagaimana telah anda bahas bersamanya (pelukan dan ciuman) sebelum meninggalkannya.
Anak Cerdas anda akan belajar mempercayai anda akan kembali untuk menjemputnya.
Paling baik mulai memisahkan diri darinya sejak usia dini, ia akan terbiasa dengan keadaan dan orang baru. Namun apabila masa tersebut telah terlewatkan, anda dapat membiarkan Anak Cerdas anda melewatkan waktu cukup banyak untuk membiasakan diri dan merasa nyaman bersama orang baru, sementara anda masih berada di dekatnya. Hal ini akan sangat mengurangi ketakutan Anak Cerdas anda ketika ia benar – benar ditinggalkan seorang diri bersama orang baru